Pengantar : Â
Dalam rangka menghormati dan mengenang para pejuang rakyat Cilegon dalam melawan Penjajah Belanda, dimotori oleh para Kyai (Ulama) yang terjadi di Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888, saya sajikan tulisan bersambung  yang disarikan dari buku karya Prof. Sartono Kartodirdjo "Pemberontakan Petani Banten 1888".
--------------------
Melihat kenyataan bahwa penduduk di wilayah Gudang Batu dan sekitarnya enggan bergabung dan membantu pasukan Ki Wasid, H. Tubagus Ismail dan Ki Wasid mengadakan musyawarah membicarakan strategi kelanjutan perjuangan. H. Tubagus Ismail mengusulkan agar terus berjuang dan mengadakan pertempuran yang menentukan hidup mati, jikapun harus mati, gugur sebagai pahlawan dalam perlawanan.
Sedangkan Ki Wasid berpendapat lain, menurut Ki Wasid sebaiknya mundur dulu, alasannya  menunggu kedatangan Kyai Agung (Syeikh H. Abdul Karim) dan Syeikh lainnya yang ada di Mekah untuk bergabung jika perang jihad dilaksanakan satu tahun lagi sebagaimana yang di sampaikan H. Marjuki dulu. Adapun tempat yang dipilih adalah Banten Selatan.
Perbedaan pendapat muncul dikalangan para pasukan. H. Madani, H. Jahli (Ciore) dan Agus Suradikaria mengambil sikap,  tidak menyetujui pendapat dua tokoh pimpinan diatas. Hari itu ketiganya memisahkan diri dari pasukan. Setelah memisahkan diri, beberapa hari kemudian  ketiga pejuang ini dapat di diteksi keberadaannya lantas mereka di tangkap dan dibunuh oleh tentara kolonial sebagaimana telah disebut diatas.
Meskipun saat itu terjadi perbedaan pendapat, namun pada ahirnya Ki Wasid berhasil membujuk dan meyakinkan para anggota pasukan termasuk H.Tubagus Ismail untuk sementara mundur ke Banten Selatan.
Pihak tentara kolonial masih mengalami kebingungan untuk mencari keberadaan pasukan Ki Wasid karena beredarnya kabar yang simpang siur soal kemana sebetulnya Ki Wasid menyingkir dari pengejaran. Ada informasi bahwa Ki Wasid akan berangkat menghindari pengejaran dengan menumpang kapal Perancis, bahkan Residen Priangan memberitahukan kepada pemerintah bahwa Ki Wasid dan pasukanannya pasti berada di Cianjur.
Sementara pihak tentara kebingungan, Pasukan Ki Wasid  bergerak mundur ke Banten Selatan, Adapun rute yang ditempuh yakni melalui Cidanau dan kawasan  hutan yang disebut "Kebon Maung"  karena  terkenal banyak macannya (harimau) untuk menerobos Caringin menuju Sumur.
Tak bisa dibayangkan, betapa beratnya pasukan Ki Wasid menyusuri kawasan hutan untuk menghindari pengejaran tentara kolonial.  Tanggal 21 Juli 1888, pihak tentara kolonial mendapat laporan bahwa pasukan Ki Wasid telah menyebrangi sungai Cidanau. Segera setelah itu, pemerintah  kolonial mengambil langkah  untuk memperkuat penjagaan di sepanjang jalan Anyer-Caringin,  pasukan tentara juga dilipat gandakan.
Satu detasemen infantri dibawah komando De Chauvigny de Blot, ditempatkan di Brengas, tujuannya untuk mencegah jangan sampai pasukan Ki wasid lolos diantara Brengas dan Cinoyong. Satu detasemen lagi ditempatkan di Cimanuk, maksudnya untuk mencegh pergerakan dan jangan sampai pasukan Ki Wasid lolos melalui gunung Aseupan dan gunung Pulosari. Demikian juga satu  pasukan  di tempatkan di Cinangka.
Namun dengan siasat yang brilyan, pasukan Ki Wasid dapat menerobos penjagaan tentara yang sudah ditempatkan dimana mana. Pasukan Ki wasid berhasil menerobos pos penjagaan yang ada di sekitar hutan (gunung) putri, bersembunyi dan bermalam di area hutan Cinoyong pada tanggal 25-26 Juli 1888.
Pada malam hari tanggal 26 Juli, pasukan Ki Wasid bergerak meneruskan perjalanan, untuk kedua kalinya berhasil menerobos  penjagaan tentara yang sudah ditempatkan dimana mana. Tentara kolonial baru mengetahui kalau pasukan Ki Wasid  berhasil menerobos penjagaan sekitar tanggal 28 Juli.
Pihak pemerintah kolonial bingung bagaimana caranya pasukan Ki Wasid bisa luput dari penjagaan yang dianggap sudah kuat. Oleh karena itu, diambil langkah untuk segera menggeser  pasukan ke arah selatan.  Satu detaseman dipimpin patih Pandeglang di perintahkan untuk menjaga daerah Tajur, satu detasemen di tempatkan di daerah antara Pandat dan Tanjilahang dan sejumlah pasukan polisi yang dipimpin jaksa Caringin diperintahkan untuk mengawasi jalan yang menuju ke Selatan.
Sebetulnya dengan penempatan tentara yang demikian, praktis pasukan  pengepungan terhadap pasukan Ki Wasid sudah meliputi seluruh area yakni Brengas, Cinoyong, Cirogol, Brengkok, Cikembeureum, Pandat dan Tanjilahang. Namun entah bagaimana, ternyata pasukan Ki Wasid tetap dapat menerobos dan lolos dari pengepungan.
Dengan menaiki perahu milik tukang tambang, pasukan Ki Wasid menyeberangi sungai Cibungur, kemudian berjalan menyusuri pantai menuju Ciseukeut. Pasukan tentara kolonial yang mengadakan pengejaran, memperkirakan  pasukan Ki Wasid kemungkinan akan melanjutkan perjalanan menuju Ujung Kulon.
Untuk  maksud pengejaran dan penangkapan pasukan Ki Wasid yang sudah berada di willayah ini, tanggal 29 Juli 1888, pihak kolonial lantas mengadakan rapat di Labuan. Hadir dalam rapat tersebut antara lain asisten Residen Caringin Van der Meulen, Patih Pandeglang Raden Surawinangun, Kontrolir Caringin Maas, Jaksa Caringin Tubagus Anglingkusuma, Kapten Veenhuyzen, Letnan Visser dan Seran Wedel.
Dalam rapat tersebut, diputuskan Kapten Veenhuyzen memimpin misi penangkapan dengan mengirimkan pasukan ke Citeurep dengan maksud memotong pergerakan para pejuang pimpinan Ki Wasid.
Sesampainya di Ciuterep, ada laporan bahwa  pasukan Ki Wasid pada tanggal 29 pagi telah melintasi Citeurep menuju Ciseureuhem, sementara dilaporkan juga bahwa Wedana Panimbang dan Asisten Wedana Katumbiri sedang mengejar para pejuang.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H