Pengantar : Â
Dalam rangka menghormati dan mengenang para pejuang rakyat Cilegon dalam melawan Penjajah Belanda, dimotori oleh para Kyai (Ulama) yang terjadi di Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888, saya sajikan tulisan bersambung  yang disarikan dari buku karya Prof. Sartono Kartodirdjo "Pemberontakan Petani Banten 1888".Â
Beji saat itu di kepung, penyerbuan akan dilakukan menjelang matahari terbit. Namun ketika penyerbuan dilakukan di pagi hari itu, pihak kolonial kecele lantaran pada saat rumah rumah digeledah, didalamnya hanya terdapat lampu yang masih menyala, sementara penghuninya sudah tidak ada.
Entah disengaja atau tidak, pada saat penggeledahan di satu rumah, ada lampu yang jatuh dan mengakibatkan rumah terbakar hingga merembet ke seluruh rumah di kampung itu, alhasil  kampung Beji luluh lantak karena rumah rumah dilalap api, kecuali rumah H. Abdul Karim yang tidak terbakar meskipun berada ditengah tengah rumah yang terbakar.
Pengejaran terus di lakukan, ada info Ki Wasid ada di Kampung Ciora, tentara bermaksud mengejar kesana, namun dalam perjalanan lebih mendahulukan pencarian pelaku pemberontakan di kampung Kedung dan Terate Udik.
Saat tiba di Kedung --sama halnya dengan di Beji-- , hanya rumah kosong yang didapat. Namun saat itu tentara melihat dua orang berlari, satu ditangkap satunya lagi berhasil meloloskan diri.
Tentara kemudian mengancam, jika yang melarikan diri tidak mau menyerahkan diri atau tidak ada yang memberi tahu dimana tempat bersembunyi para pemberontak dalam waktu seper empat jam, kampung akan di bakar. Waktu yang diberikan sudah lewat, tapi tidak ada seorangpun yang mau memberitahu, ahirnya rumah rumah di kampung itupun di bakar habis.
Pencarian terhadap pejuang lainnya terus dilakukan, namun pihak kolonial  tidak mendapatkan info apapun lantaran tak ada orang yang mau meberitahu alias tutup mulut.
Akibatnya rumah rumah di kampung Terate Udik dibakar termasuk rumah H. Mahmud. Diketahui bahwa perintah untuk membakar rumah rumah penduduk ini datang dari kontrolir De Cauvigny de Blot.
Operasi militer pencarian  dengan maksud menangkap para pejuang pemberontakan terus ditingkatkan pihak kolonial. Hampir semua desa yang dianggap banyak pengikut/anggota atau pimpinan pasukan Ki Wasid  diobrak abrik seperti Tunggak, Cibeber, Bojonegara, Ciore, Citangkil, Seneja. Namun upaya itu  sia sia karena para pelaku atau pimpinan pejuang pemberontakan tidak ada di kampung masing masing.
Dilain pihak, di wilayah wilayah tertentu, para pejuang yang terpisah dari pasukan induk ki Wasid terus mengadakan perjuangan perlawanan meskipun berujung maut baik berkelompok maupun sendiri sendiri.
Pada tanggal 17 Juli 1888, seorang pejuang  menyerang  tentara yang sedang berjaga di pos gardu Benggala Serang. Meskipun hanya seorang diri,  tanpa menghiraukan perintah untuk berhenti,  terus menyerang dengan senjata yang di bawanya (Golok). Melihat anak buahnya diserang dengan golok, komandan jaga kemudian membidikkan senjata api menembak pejuang tersebut dan meninggal di tempat.
Setelah diadakan pemeriksaan, diidentifikasi jenazah  tersebut adalah H. Ishak dari Seneja yang selama ini dicari cari karena termasuk pimpinan pemberontakan.
Peristiwa lain, H. Madani dan H. Jahli (Ciore)  yang memisahkan diri dari pasukan ki Wasid, bersembunyi beberapa hari di kampung Cipinang , malang bagi  kedua pejuang tersebut, keberadaannya ada yang melaporkan kepada pihak yang berwajib.
Saat itu juga dikirim  satu kaveleri dan pasukan infantri dibawah pimpinan Kontrolir Herkes dan Patih  Raden Pena sebagai penunjuk jalan.
Diketahui H.Madani dan H.Jahli bersembunyi di dalam Masjid, tanpa  ragu dua orang tentara mendobrak pintu masjid, kondisi di dalam masjid sunyi, tentara mengira sudah tidak ada alias sudah kosong. Namun tiba tiba tentara itu di serang dari belakang, terjadi perkelahian sengit, tentara itu mengalami luka bacok yang sangat parah, datang bantuan dari tentara lainnya, sebelum ahirnya menembakkan senjatanya ke arah H. Madani dan H. Jahli, keduanyapun meninggal dunia.
Demikian pula yang menimpa Agus Suradikaria dan dua orang pengikutnya yang juga memisahkan diri dari pasukan induk. Ketiga pejuang ini bersembunyi di sebuah kampung Kusambisaba, masuk wilayah afdeling Serang. Militer mengirimkan tentara di dampingi Patih Serang  sebagai penunjuk jalan. Sesampainya disana, rumah tempat bersembunyi di kepung tentara, Patih berteriak minta supaya Agus Suradikaria keluar menyerahkan diri.
Bukannya menyerah, dua dari  ketiga orang ini menjawabnya dengan serangan terhadap Patih, dengan sigap, tentara membidikkan senjata, dua orang ini -- salah satunya Agus Suradikaria -- ahirnya tewas terkena peluru. Adapun yang seorang lagi berusaha melarikan diri, tapi kemudian ditangkap lalu ditusuk sangkur oleh tentara, iapun meninggal dunia. Dua orang pengikut Agus Suradikaria ini ternyata H. Nasiman dan seorang agen polisi yang diperbantukan kepada jaksa di Cilegon.
Para pejuang Geger Cilegon yang saat itu sudah terpisah pisah, terus diburu tentara kolonial. Suatu saat tentara berhasil mendeteksi persembunyian pelaku pemberontkan H. Kasiman dan H. Arbi. Menurut info mata mata, H. Kasiman dan H. Arbi bersembunyi di kampungnya Citangkil setelah lolos  dari pengejaran sebelumnya saat bersembunyi di kebun tebu dekat Cigading.
27 Juli 1888, rumah H. Kasiman dan H. Arbi di kepung tentara lengkap dengan persenjataan. Ketika H. Kasiman mendengar suara derap kaki kuda pasukan kaveleri tentara kolonial, segera lari dari rumah diikuti pula oleh H.Arbi, namun di ketahui tentara.Â
H. Kasiman berhasil kabur, sementara H. Arbi tidak sempat. Iapun menyadari bahwa sudah tidak mungkin bisa melarikan diri, baginya sekarang adalah soal hidup atau mati. Iapun kemudian mencabut kelewang (golok) dan berusaha membacok  tentara beberapa kali, namun beberapa saat kemudian, serentetan tembakan dan sabetan pedang dari tentara, menamatkan riwayatnya, ia meninggal dunia dalam perlawanan.
Meskipun H. Kasiman bisa lolos dari rumah, pengejaran terus dilakukan, tempat persembunyiannya dikepung, pihak  kolonial minta agar H. Kasiman keluar dan menyerahkan diri. H. Kasiman menyadari bahwa sudah tidak mungkin lagi melarikan diri.
Muncul niatnya untuk melawan sampai mati, ia berdiri di tengah sawah sambil mengacungkan senjatanya --keris--, menantang pasukan tentara kolonial, ia tak mau menyerah. Melihat keberanian dan kenekadan H. Kasiman, ahirnya komandan pasukan memerintahkan anak buahnya untuk menembaknya, H. Kasiman gugur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H