Bagi saya, lebaran tahun ini, bukan hanya soal Pandemi Covid 19, namun ada hal yang paling mengharukan bagi keluarga besar saya yakni; Â Lebaran tanpa ayah.
Terkait dengan Covid 19, Lebaran tahun ini juga tanpa kehadiran anak dan cucu yang stay di luar kota, Sembahyang I'd- pun dilaksanakan di Musholla keluarga yang dibangun  ayah saya.
Dua tahun sudah ayah meninggalkan keluarga, dipanggil oleh Allah SWT, semoga tenang disana. Berarti sudah dua kali keluarga berlebaran tanpa ayah. Tanpa kehadiran ayah, terasa sekali  perbedaannya.
Saya betul betul merasa kehilangan, ayah meninggal pada usia kurang lebih 96 tahun. Pada masa hidupnya, beliau adalah pekerja keras. Dilahirkan dari keluarga tidak mampu, ditinggal orang tua (ayah), banyak cerita duka yang disampaikan kepada saya  sebagai motifasi untuk menjalankan roda kehidupan di dunia.
Beliau pernah bercerita bagaimana getirnya hidup di masa anak anak. Sebagai anak yang di tinggal orang tua, mencari makan dengan ikut mencari rumput untuk makan kuda, hasil sabitan lantas dinaikkan gerobak. Ayah yang nuntun gerobak kuda,  sementara  anak yang empunya  naik diatas gerobak. Alih alih yang diatas nyambuk kuda, tapi yang di cambuk malah yang nuntun kuda, ayah nerima saja, karena berharap sesampainya di rumah diberi makan.
Menginjak remaja, ayah tidak punya biaya untuk sekolah, tapi semangat cari ilmu. Diantara teman  dan  saudara yakni abah Jaki dan saudara sepupu Salman, ayah nyantri (mondok) di Baros, 50 km dari tempat tinggal. Berangkat ke pondok hanya jalan kaki, kalau  nasib baik, ikut tumpangan gerobak kuda yang lewat.
Untuk bekal ke pondok, hanya mengandalkan belas kasihan orang banyak. Saat berangkat ke pondok  itulah ayah mencari bekal tersebab orang tua tidak mampu ngasih bekal,  caranya bebriman  alias minta minta ke warga kampung yang dilewati, biasanya di beri beras. Tak jarang jika ada warga yang lagi selamatan, nimbrung ikut ngeriung reriungan, pulangnya dapat berekat yang isinya nasi dan lauk pauk, lumayan  untuk dimakan.
Satu saat, pulang  ngeriung, tiga sekawan abah Jaki, Salman dan ayah dapat berekat. Dengan maksud melahap berekat, pergi ke pematang sawah. Di galengan duduk rame. Sial dilihatnya ada kerbau yang tadinya dipakai membajak sawah, lari menuju tempat duduk ayah, tidak sempat lagi mengambil berkat yang sudah di hamparkan di galengan, braaak, semua berkat diinjak kerbau.
Bersyukur, kerja keras ayah, dari ikut orang di Cilegon, mencari karang untuk dibikin kapur, mencari ikan dilaut (bagan), hingga dagang kelontongan di pasar, telah membuahkan hasil dalam mendidik anak, meski terkenal suka marah marah, namun ayah berhasil  menyekolahkan 9 orang anak. Anak pertama dan kedua lulus SLTA, sisanya dari saya (anak ke 3) sampai anak ke sembilan bisa lulus sampai Perguruan Tinggi. Begitu pula dalam hal menjalakan ibadah, Ayah bisa ber-haji beberapa kali, dan anak anaknyapun semua dibantu  berangkat haji. Syukur alhamdulillah. Â
Allahummahfirli, waliwalidayya warhamhuma kama robbayani shoghiro
Ya Allah Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (Ibu dan Bapakku), sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil ".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H