"Perkenankan saya mengenalkan diri. Nama saya (air) hujan, saya turun dari ketinggian yang tidak mungkin bisa dijangkau oleh manusia. Tugas utama saya, memberikan kehidupan kepada umat manusia. Para petani bisa memanfaatkan saya agar tanaman tidak mati".
Demikian antara lain bunyi surat Imaginer dari Sang Hujan yang saya terima. Setelah saya perhatikan, ternyata isinya menyikapi kejadian banjir di wilayah Cilegon-Banten baru baru ini. Adapun secara lengkap isi surat Imaginer tersebut sebagai berikut.
Sekali lagi saya sampaikan bahwa saya  diturunkan untuk menopang kehidupan umat manusia, agar sumur dan waduk yang ada dijagad raya ini tetap terjamin isinya, manusia bisa hidup gemah ripah loh jinawi.
Namun ahir ahir ini saya jadi bingung, dulu ketika alam tidak dirusak oleh manusia, saya sangat akrab dan hidup berdampingan dengan semua yang ada dipermukaan bumi. Saat saya turun, saya diserap oleh tanah yang penuh dedaunan karena di gunung masih banyak pohon rindang, melalui serapan tanah itu, saya bisa keluar sebagai sumber mata air, secara perlahan saya menyusuri sungai dalam waktu yang lama.
Sekarang ini kepayahan sendiri, ketika saya turun, saya tidak lagi bisa diserap, dari atas gunung saya langsung menuju sungai, sementara sungai yang dulu lebar, sekarang sudah mulai mengecil dan dangkal, dibentaran berjejer bangunan liar, akibatnya sungai tidak lagi mampu menampung saya.
Saya juga bingung, kemana saya harus berkumpul karena tandon tandon alamiah seperti area persawahan, rawa rawa yang dulu menjadi tempat istirahat, kini sudah berubah menjadi rumah, gedung dan pabrik.
Celakanya, mereka yang bikin rumah atau bangunan yang lain, sama sekali tidak memperhatikan kepentingan orang banyak. Yang dipikirkan hanya kepentingan pribadi. Pembangunan pabrik apa lagi, tanah merah, bongkahan batu bahkan pasir lautpun dipindahkan untuk mengurug tempat istirahat saya.
Ketika saya mendengar akan adanya pembangunan Pabrik seluas 150 hektar di Cilegon, saya sangat galau, sebab pengalaman sebelumnya telah membuktikan bahwa saya terpedaya oleh janji manis para investor.
Contohnya ketika pembangunan PT Krakatau Posko beberapa tahun lalu, janjinya akan dibuatkan saluran yang memadai, tetapi (saat itu) ternyata omong kosong. Akibatnya tentu saja saya sangat kesulitan untuk mencari arah menuju laut hingga saya berjalan tak karuan menerobos sana sini yang oleh manusia dikatakan "banjir".
Kegalaun saya ini terbukti, saat ini saya dengan sangat terpaksa ngelurug kampung Keruwuk Kelurahan Rawa Arum, merendam puluhan rumah. Saat itu saya bingung mau lari kemana lantaran hamparan yang dulu berfunsi sebagai area resapan dan tempat istirahat, kini sudah berubah menjadi lautan pasir yang disedot dari Selat Sunda sebagai lapisan urugan untuk kepentingan proyek raksasa pembangunan Pabrik Kimia.
Saya tidak mampu menerjang itu, ditambah lagi sungai yang dulu landai kini terasa sempit dan hanya di kasih gorong gorong yang tak memadai hingga tak mampu lagi menampung derasnya Kali Grogol.
Sangat wajar jika kemudian masyarakat Keruwuk protes kepada yang empunya proyek yakni PT Lotte Chemical Indonesia,  sementara orang orang yang dulu berteriak  soal lingkungan, sekarang tak terdengar lagi teriakannya, bingung saya.
Satu lagi, minggu kemarin saya juga menjebol tanggul kali Gerem, akibatnya beberapa rumah di Kampung Gerem Raya Kelurahan Gerem terendam, bahkan ada satu rumah di bentaran kali terpaksa pondasi dan temboknya terbawa arus sungai. Saya sangat terpaksa karena ditempat ini saya tidak mampu menerjang TPT milik PT BCS yang sangat tinggi, tambahan pula posisi sungai yang menyempit dan adanya pendangkalan lantaran PT BCS membuat TPT tidak mengikis tanahnya. belum lagi ada penghalang ditengah Kali.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Keruwuk Kelurahan Rawaarum, Masyarakat Gerem Raya Kelurahan Gerem serta masyarakat Cilegon pada umumnya yang beberapa hari lalu rumahnya terendam atau  terkena terjangan saya.
Saya tidak punya niat sedikitpun untuk menyengsarakan masyarakat, tetapi bagaimana lagi, saya mencari cari jalan susah ketemu, di sana sini banyak saluran  yang dulu besar jadi kecil, orang yang tinggal dipinggir saluran/sungai berlomba lomba membuat siring dengan merambah tanggul, sudah begitu banyak sampah hingga mampet, sementara di area yang lain juga sama, banyak gorong gorong dan draenasi yang sudah tidak berfungsi lantaran tidak dirawat dengan baik. Tapi yang lebih utama adalah karena sudah tidak ada lagi area resapan dan tidak ada lagi tempat untuk istirahat.
Siapa yang menyebabkan ini?, ya tentu bukan saya, tapi manusia manusia yang serakah dan tidak mau memperhatikan apalagi memelihara lingkungan dengan baik.
Oleh karena itu, melalui surat ini, saya menyarankan, jangan terlalu banyak berdebat, tidak ada gunanya memperdebatkan saya, jadi tolong kepada pemangku kepentingan yang ada di Cilegon, baik Pemerintah Cilegon maupun Industri, segera mencari solusi agar saya tidak ngelurug kemana mana termasuk ke area pemukiman penduduk.
Demikian permohonan maaf saya.
Wassalam
Air Hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H