Istilah wong cilik, menjadi amat popular ketika salah satu partai besar di Indonesia memakai  "wong cilik" sebagai jargon dalam menawarkan programnya. wong cilik yang berasal dari bahasa jawa ini, jika di Indonesiakan artinya orang kecil.
Namun jangan kemudian diartikan sebagai ''wujud" yang menunjukkan "orangnya kecil" Â sebagaimana sering kita mengenalnya sebagai orang cebol.
Wong cilik, dalam masyarakat tradisional biasa juga disebut sebagai rakyat jelata. Dalam konteks Sosiologis, wong cilik termasuk dalam golongan sosial yang rendah bila dibandingkan dengan kelompok elite yang ada dimuka bumi ini.
Merujuk pada hal diatas, maka wong cilik bila dilihat dari kehidupan ekonomi, wong cilik termasuk didalamnya adalah kelompok masyarakat  golongan ekonomi lemah.
Saya kira semua sepakat, termasuk dalam golongan ekonomi lemah ini diantaranya adalah orang orang yang tidak punya penghasilan yang tinggi, penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari  seperti pedagang asongan, pedagang kecil, tukang ojeg, supir angkutan umum,buruh dan lain sebagainya. Oleh karena itu, masyarakat golongan ekonomi lemah ini, mempunyai sentimen yang tinggi, saat barang barang kebutuhan mahal atau naik --misalnya--, mereka ini akan mudah menjerit.
Salah satu contoh, ketika pemerintah menaikkan harga BBM seperti premium, kelompok ini akan menjerit  bahkan tak jarang mereka ini kemudian protes atas kebijakan pemerintah tersebab kelompok ini adalah konsumen terbesar  BBM jebis premium, disamping itu naiknya harga BBM akan mempengaruhi harga barang dipasar.  Protes atas kenaikan harga BBM  ternyata bukan dari kalangan wong cilik saja, partai juga ternyata pernah ikut protes. Ini terjadi ketika SBY menjadi Presiden Repuplik Indonesia, partai yang mempunyai jargon membela wong cilik protes atas rencana kenaikan BBM  walaupun pada saat partai itu juga berkuasa, melakukan hal yang sama yakni menaikkan harga BBM.
Perlahan lahan penjualan BBM jenis premium yang harganya paling murah, dibatasi disetiap SPBU. Pengumumannya "Premium Habis". Konsumen dengan sangat terpaksa membeli BBM jenis lain, seperti pertalite, pertamax.
Sebetulnya ini adalah suatu upaya atau orang kampung bilang "neknik" agar konsumen terbiasa dengan memakai Pertalite.
Sasaran utamanya sebetulnya adalah, ketika konsumen sudah terbiasa dengan "kelangkaan" Premium, SPBU diseluruh negeri akan meniadakan penjualan BBM jenis Premium.
Sekarang terbukti, Â diawal tahun 2018 ini, SPBU di hampir peloksok negeri ini, sudah tidak lagi menjual premium karena secara tidak sadar, masyarakat ekonomi lemah atau wong cilik sudah terbiasa dengan memakai pertalite walaupun harganya lebih mahal dari Premium.
Dengan kondisi ini, disadari atau tidak, wong cilik secara ekomonomi, sudah naik kelas karena sudah mampu menkonsumsi BBM yang harganya lebih mahal dari premium, dan ketika wong cilik ini naik kelas, merekapun tidak protes lantaran yang terjadi bukanlah kenaikan harga BBM, tetapi penggantian jenis BBM.Â
Hebatkan pemerintah kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H