Pertengahan Desember 2017, tepatnya (13/12), Kadin Indonesia (Pusat) baru saja melaksanakan Rapimnas di Batam. Kadin Cilegon ikut serta di dalamnya. Katua Kadin Cilegon H.Sahruji SH, Wakil Ketua Bidang Organisasi H. Sam'un dan saya sebagai Wakil Ketua Bidang Hukum, ikut sebagai peserta Rapimnas yang dibuka oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Dan ditutup oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla.
Pelaksanaan Rapimnas Kadin ini tentu saja dihadiri beberapa tokoh (pengusaha) Nasional yang sudah malah melintang dalam dunia usaha (termasuk politik) di Indonesia. Hadir di antaranya MS, Hidayat (mantan Ketua Kadin dan Mantan Menteri Perindustrian), M. Lutfi (mantan Ketua HIPMI), dan mantan Menteri Perdagangan, Erwin Aksa bos Bosowa, dan sederet tokoh lainnya.
Atas jasa MS Hidayat ahirnya disepakati Krakatau Steel mengganti lahan Kubangsari karena akan dipakai PT Krakatau Posco (pabrik baja patungan Indonesia-Korea) dengan lahan di Warnasari dan biaya pembangunan dermaga diganti oleh PT Krakatau Steel.
Dalam sidang pembahasan di Rapimnas itu, saya tercatat sebagai peserta dalam sidang Komisi B yang husus membidangi Program Kerja Kadin Tahun 2018. Dalam suasana yang demokratis, saya tertarik dengan salah satu rencana program yakni tentang CSR (Corpoorate Sosial Responsibility) dari perusahaan.
Terkait dengan CSR ini, intinya agar KADIN membuat kajian melalui FGD untuk merekomendasikan kepada DPR agar tidak membuat undang-undang CSR. Alasannya karena sudah diatur dalam perundang-undangan seperti undang-undang perseroan terbatas, undang-undang penanaman modal dan lainnya.
Atas dasar itu, dalam forum itu saya menentang pemikiran ini. Alasan saya karena beberapa ketentuan yang mengatur tentang CSR dalam berbagai perundang-undangan yang ada di Indonesia hanya terdiri dari beberapa pasal dan tidak punya daya tekan terhadap "kewajiban" perusahaan untuk melaksanakan CSR.
Saya kemudian memberikan contoh nyata yang ada di Cilegon. Cilegon sebagai bagian dari Pemerintah Provinsi Banten merupakan daerah Industri yang di dalamnya berjibun perusahaan, baik perusahaan milik negara (BUMN), Perusahaan milik daerah (BUMD), maupun perusahaan swasta baik perusahaan asing (PMA), maupun perusahaan nasional (PMDN).
Dengan banyaknya perusahaan yang berinvestasi di Cilegon, pemerintah dan masyarakat Cilegon telah merespons persoalan CSR ini, pertama kali melalui Perwal (Peraturan Wali Kota) ditindaklanjuti dengan membuat Lembaga Pengelola CSR yakni Cilegon Corpoorate Sosial Responsibility (CCSR). Pertimbangan dibuat CCSR ini karena dana yang terserap melalui CSR tidak masuk dalam APBD. Namun keberadaan Perwal dirasa tidak terlalu kuat hingga ahirnya dibuat Perda tentang CSR.
Dengan adanya Perda CSR sebagai payung hukum, seharusnya perusahaan yang ada di Cilegon tunduk dan taat untuk melaksnaan CSR, namun kenyataannya, sebagian besar perusahaan yang ada di Cilegon enggan mengeluarkan dana CSR kecuali beberapa BUMN/BUMD, sementara dari perusahaan swasta bisa dihitung dengan jari.
Sulitnya perusahaan untuk mengeluarkan dana CSR ini terkait dengan pemahaman yang berbeda-beda terhadap CSR. Perusahaan menganggap bahwa memberikan kambing, sembako kepada lingkungan masyarakat pada perayaan hari hari besar tertentu dianggap sudah melaksanakan CSR. Menjual barang eks pakai perusahaan (yang bukan limbah) seperti kasur busuk, kursi rusak, palet bekas, atau barang barang limbah seperti oli bekas, scrap besi dan lainnya kepada pengusaha di daerah juga dianggap sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap lingkungan dan dikaitkan dengan persoalan CSR.
Ini merupakan bukti nyata tentang adanya pemahaman yang salah tentang CSR, hal ini terjadi lantaran tidak adanya peraturan yang baku dan mengikat kepada perusahaan terkait dengan persoalan CSR. Jadi pemikiran KADIN untuk merekomendasikan kepada DPR agar tidak membuat undang-undang CSR, merupakan bentuk ketidakpedulian KADIN terhadap pembangunan daerah. Oleh karena itu, dalam forum itu saya mengusulkan agar sebaliknya KADIN mendorong pemerintah untuk segera membentuk undang-undang tentang CSR agar mempunyai payung hukum yang kuat.
Melalui perdebatan dengan peserta lain, ahirnya usul saya diterima dalam Sidang Komisi B untuk dibawa ke paripurna. Dalam paripurna yang berjalan dengan baik, usulan tentang hal ini dapat diterima yakni agar KADIN Indonesia mendorong pemerintah melalui DPR-RI untuk segera membentuk undang-undang CSR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H