Sulitnya perusahaan untuk mengeluarkan dana CSR ini terkait dengan pemahaman yang berbeda-beda terhadap CSR. Perusahaan menganggap bahwa memberikan kambing, sembako kepada lingkungan masyarakat pada perayaan hari hari besar tertentu dianggap sudah melaksanakan CSR. Menjual barang eks pakai perusahaan (yang bukan limbah) seperti kasur busuk, kursi rusak, palet bekas, atau barang barang limbah seperti oli bekas, scrap besi dan lainnya kepada pengusaha di daerah juga dianggap sebagai bentuk perhatian perusahaan terhadap lingkungan dan dikaitkan dengan persoalan CSR.
Ini merupakan bukti nyata tentang adanya pemahaman yang salah tentang CSR, hal ini terjadi lantaran tidak adanya peraturan yang baku dan mengikat kepada perusahaan terkait dengan persoalan CSR. Jadi pemikiran KADIN untuk merekomendasikan kepada DPR agar tidak membuat undang-undang CSR, merupakan bentuk ketidakpedulian KADIN terhadap pembangunan daerah. Oleh karena itu, dalam forum itu saya mengusulkan agar sebaliknya KADIN mendorong pemerintah untuk segera membentuk undang-undang tentang CSR agar mempunyai payung hukum yang kuat.
Melalui perdebatan dengan peserta lain, ahirnya usul saya diterima dalam Sidang Komisi B untuk dibawa ke paripurna. Dalam paripurna yang berjalan dengan baik, usulan tentang hal ini dapat diterima yakni agar KADIN Indonesia mendorong pemerintah melalui DPR-RI untuk segera membentuk undang-undang CSR.