"Mengaku orang kampung,,,,,,,,,," begitu tulis Thamrin Sonata Thamrin atau yang biasa di panggil bung TS pada riwayat saya sebagi salah seorang penulis pada buku (In) Toleransi yang diterbitkan Peniti Media beberapa waktu lalu.
Ya “mengaku orangkampung”, bukan hanya sekedar pengakuan, saya memang orang kampung,terlahir di kampung, dan tinggal di kampung. Saya memang orang kampung, lahir juga di bantu dukun bayi, bahkan hitan juga tidak pake dokter, tapi pake tukang sunat tradisional yang menggunakan alat “welad”, setelah selesai sunat, kebiasaan orang kampung diadakan hajatan atau syukuran, tak tanggung tanggung, menurut cerita orang dikampung, saya dihajatin 4 hari empat malam, dasar orang kampung.
Menjadi orang kampung, saya tak pernah menyesal, setelah saya melanglang buana mencari Ilmu di kota Yogyakarta, saya putuskan kembali ke Kampung, membina pemuda di Kampung, bahkan ketika orang kampung banyak yang minta untuk ikut Kontestasi Pemilihan Kapala Kampung, saya bersedia dan terpilih menjadi Kepala Kampong.
Kembalinya saya ke Kampung, ditulis oleh AE Priyono, mantan Direktur Eksekutif LP3ES Jakarta dalam testimoni buku saya “Catatan dari Cilegon”, AE Priyono adalah senior saya saat kuliah di Fak.UII Yogyakarta, beliau menulis begini……." ...Moch Nasir punya jalan sendiri, ia pulang kampung, Nyaris sendirian, ia merintis karir sebabagi seorang local genius untuk memantau dan mengawasi lalu lintas pertarungan, persetruan dan persaingan kekuatan ekonomi politik yang berebut kuasa dan harta di kampung halamannya"
Sungguh saya tak meng-ada ada, saya asli orang kampung,tapi jelas ngga kampungan. Dalam menerapkan pergaulan, saya mencoba bergaul dengan siapapun, tanpa memandang bulu, yang saya bedakan Cuma bulu mata, bulu kaki, bulu ketek. Artinya, saya hidup dalam sebuah komunitas yang menjunjung tinggi tali silaturrahim sesama manusia. Hablum minannas.
Apa kata Rostow benar adanya, orang kampung atau dalam Bahasa sosiologis disebut masyarakat tradisional salah satu cirinya adalah mata pencaharian lebih dominan di sector pertanian, sementara system ekonomi belum berorientasi ke pasar.
Lantas rugikah kita jadi orang kampung, oh tidak, percaya deh, jadi orang kampung ngga ada ruginya jika kita bisa menerapkan dan menjalani berbagai aktifitas sesuai dengan ciri dari orang kampung. Kata rostow tadi, cirinya adalah system ekonomi belum ber-orientasi pasar dan mata pencaharian lebih dominan di sector pertanian. Mengkombinasikan gaya hidup orang kota dengan orang kampung adalah suatu seni.
Meski bergaul dengan orang kota, pengalaman hidup dikota, sebagai orang kampung jangan tinggalkan ciri orang kampung, jangan sekali kali petantang petenteng seolah jadi orang kota yang katanya sudah individualistik itu, tak kenal tetangga dan sebagainya, meski Rostow bilang ekonomi orang kampung belum berorientasi pasar dan masih mengandalkan pertanian, kelak pasti ada manfaatnya.
Bertani, bagi orang yang berpikir modern, pasti berkilah, buat apa bertani, terlalu lama nunggunya, menanam, mengurus, sampai memanen membutuhkan waktu, mending beli di pasar atau di Supermarket, beres urusan.
Ya itulah pikiran instan orang kota, beda dengan orang kampung yang logika berpikirnya sederhana, meskipun saya menanam tidak makan hasilnya, tapi kelak anak cucu akan bisa menikmati, jadi masih untung ada orang kampung, coba kalau orang kampung semua berpikir seperti orang kota tadi, berpikir instan, maka bisa dipastikan di pasar dan di Supermarket tidak ada yang jual beras, sayuran, buah dan sebagainya.
Ini pengalaman saya sebagai orang kampung.
Lima belas tahun yang lalu, ketika suatu saat saya berkunjung ke Kotabumi Lampung, saya iseng beli beberapa bibit pohon jati, bibit itu saya tanam di kebun milik orang tua saya, kalau titip dikebun tetangga, repot urusannya. Tiba giliran anak saya berniat bikin gubug alias rumah tinggal, sibuk bukan kepalang harus beli ini dan itu, termasuk kusen pintu dan jendela. Tentu saja harganya untuk saat ini tidak tergolong murah, untuk pintu saja tidak kurang dari 5 juta perak jika bahannya kayu jati. Nah untung jadi orang kampung punya pohon jati sendiri, tinggal panggil tukang ‘’tebang’’ pohon, bikin balok, bikin papan lantas di bawa ke Panglong diproduksi menjadi pintu dan jendela.
Semua Foto, dokumen pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H