Dipinggir kali, berjejer puluhan atau bahkan mungkin ratusan perahu yang menjajakan dagangan hasil bumi seperti buah buahan, sayuran bahkan ada juga yang menjual tanaman bibit seperti bibit dan bunga. Penjual di pasar apung ini, rata rata ibu ibu yang datang dari daerah hulu, menurut penuturan seorang ibu, ia menempuh perjalanan mengarungi sungai memakai perahu selama 3 jam untuk sampai ke tempat ini, pulangnya besok siang (hari minggu).
Saya menemukan buah yang tidak ada di pulau Jawa, namanya buah mentega, buah ini warnanya sangat menarik, berbulu halus, sekilas mirip dengan “kesemek”. Buah ini tergolong langka karena tidak dibudidayakan, menurut si Ibu yang berjualan, buah ini berasal dari hutan, atau ada dipekarangan. Setelah saya coba, hemmmmm,,, rasanya lain dari yang lain, teksturnya juga sangat halus, cara makannya hampir sama dengan makan durian, yakni kita makan daging yang menyelimuti bijinya. Pokoknya uenak.
Untuk lebih menikmati suasana sore di Siring Tendean, saya dan rombongan lebih memilih ‘’ngopi’’ dulu di warung apung yakni warung yang memakai kapal motor dan bersandar di pinggir kali. Sambil ngopi, tak lupa pesan gado gado, enak juga rasanya. Di warung ini, tersedia berbagai menu has Banjar, paling banyak di beli tentu saja soto banjar. Ternyata omsetnya lumayan juga, menurut yang empunya warung, jika hari biasa, omset paling 1 juta, tapi kalau besok, atau hari minggu bisa 5 juta. “Ya lumayan juga buat biaya sehari hari dan biaya anak sekolah”, kata si bapak yang punya warung sambal melayani.
Selesai ngopi, giliran naik klotok. Klotok adalah sebutan perahu motor yang biasa untuk mengangkut penumpang, disebut klotok karena kemungkinan diambil dari bunyi mesin perahu yang terdengar klotok klotok. Mesin perahu ini saya lihat menggunakan mesin yang biasa untuk membajak sawah setelah di modifikasi menjadi penggerak perahu.
Si Andri, yang mungkin jarang naik perahu, duduk diatas atap perahu, saya yang awalnya duduk didalam perahu, pindah keatap, bukan karena ingin gaya, tapi karena didalam tidak ada bangku, semua peumpang duduk lesehan di dek yang antara dek dan atap hanya tidak lebih dari 1 meter, jadi terkesan sumpek. Dari perahu ini, kita bisa Melihat pemandangan dan suasana pinggir kali Kota Banjarmasin, Patung Bakantan atau orang hutan Kalimantan kelihatan gagah sedang menyemburkan air dari mulutnya mirip patung Singa di Singapura, bisa jadi patung ini adalah icon kota Banjarmasin, demikian halnya dengan Menara pandang yang ada di pinggir kali, kelihatan berwibawa, Klotok klotok klotok, perahu berjalan kurang lebih 2 km pp.
Banar saja, tiba ditempat, jalan Kapten tendean sudah di tutup petugas, semula saya mengira ada huru hara, karena pakaian para petugas sama dengan seragam Brimob, tapi ternyata Satpol PP yang bertugas mengatur ketertiban dan kenyamanan pengunjung Siring Tendean.
Suasana pagi berbeda dengan sore hari, para pedagang apung tidak dibolehkan menggelar dagangan di getek, tetap ada diatas perahu, transaksi dilakukan dengan cara pedagang diatas perahu, pembeli diatas getek yang terbuat dari kayu, mirip dermaga yang terapung. Hanya pedagang kuliner yang dibolehkan menenpati getek. Macam macam jenis makanan yang di jajakan disini, tetapi 100% kuliner tradisional has banjar. Pengunjung bisa makan diatas getek atau duduk di siring yang dibuat model tangga di pinggir kali, nikmat betul suasana pagi di Sungai Martapura.
Pengunjung datang bukan hanya dari sekitar Banjarmasin, saya bisa menebaknya karena dari sekian pengunjung ada yang memakai Bahasa diluar banjar, ada yang pakai Bahasa Jawa, tapi kebanyakan pakai dialeg Jawa Timur, banyak juga yang memakai dialek Sumatera.