Ya, Kompasianival 2016 telah usai, banyak cerita banyak kenangan terukir disana. Bagi saya yang baru pertama kali ikut perhelatan akbar Komopasiana ini, hanya bisa ber-ujar “Jadi, begini ini, ya Kompasianival’’. Ucapan itu saya sampaikan kepada Thamrin Sonata atau TS setelah saya keluar dan bergeser dari acara berbaginya narasumber  yang berlangsung di panggung utama Kompasianival.
Dimata saya, Kompasianival ini  ternyata tak ubahnya seperti Seminar atau diskusi panel dimana para Kompasianer yang datang dari seluruh penjuru tanah air duduk sebagai peserta atau bahkan mungkin sebagai undangan  . Apa yang selama ini saya banyangkan bahwa Kompasianival adalah gelaran kopi darat akbar para penulis di Kompasiana, seketika hilang. Bagaimana mau kopi darat dengan kompasianer yang diidolakan maupun yang tidak diidolakan karena belum pernah bertatap muka dan beradu mulut  alias berkenalan jika dari pagi hingga sore kita kita –kompasianer— seolah diminta untuk duduk bertafakkur mendengarkan orang orang pintar dibidangnya berbagi pengalaman dan  kepintarannya yang maha adiluhung lagi luar biasa itu.
Jujur saja, saya datang menempuh perjalanan dari Cilegon-Banten ditemani kemacetan jalanan ibu kota selama dua jam, yang terbesit dalam memori otak saya adalah akan ketemu dan ngobrol panjang dengan Oma Roselina, Opa Tjiptadinata, Desol, Pebrianov, Fitri Manalu. Lilik F, Gaper S, Thamrin Dahlan, Siti Nurhasanah, termasuk Kompasianer yang sudah saya ‘’kenal’’ dan pernah bersama dalam beberapa acara seperti Thamrin Sonata, Isson Khaerul, Tamita Wibisono, Arum Sato, Maria Margareta atau Kompasianer yang saya anggap misteri karena tidak ada fotonya macam Axtea 99.
‘’Jadi Kompasianival ini ngga seru seru amat’’, kata saya kepada TS.
Anggapan itu muncul lantaran saya tidak bisa membadingkan acara Kompasianival tahun ini dengan Kompasianival sebelumnya lantaran –sekali lagi – saya baru pertamakali ikut Kompasianival, ahirnya apa yang saya lihat pada hari itu yang bisa saya simpulkan.
Setelah saya beranjak dari kursi, saya mlipir ke Meja Kutu Buku yang letaknya sebelah kanan dari barisan kursi peserta acara ‘’berbagi’’, dan.... disitu saya melihat Oma dan Opa Tjiptadinata. Bergegas saya menghampiri dan sempat rame rame berfoto ria dengan seabreg Kompasianer yang kemudian datang menyusul seperti Desol, Pebrianov, Mas Gaper, Mbak Lilik Fatimah dan lainnya.
Foto bersama sudah, tiba tiba TS mencolek, ‘’ayo kita makan’’, kata TS.
‘’Ya disebelah Smesco ada Warteg ‘’, Isson menimpali.
Ok, ahirnya rame rame Kompasiner Bang Iskandar Z, Isson Khaerul, Ikhwanul Halim TS, Mbak Susy, eh Mas Susy Heryawan –yang kemudian mendapat satu diantara anugrah yang diberikan Kompasiana-- beserta K yang lain – yang belakangan saya tahu --diantaranya adalah pak Axtea 99, Teha Sugiyo, Sugiyanto Hadi bergegas jalan bak kuntul baris menuju Kafe Warteg. Telor Asin, Sayur terong, Oseng Toge campur kacang, telor dadar, tahu sayur, pindang –gulai—ikan disikat orang yang memang sedang kelaparan.
Sesi ini saya kebagian jadi bandar dengan terlebih dahulu minta ijin tentunya. Bukan soal kantong berisi, tapi ini bagian dari strategi saya, orang bilang neknik, kalau soal kantong pastinya saya kalah dengan TS atau Pak Axtea 99, ya toh..!, mereka mereka ini tidak tahu bahwa saya sedang neknik ‘’komunikasi’’ agar saya punya nama dan dikenali, maklum orang baru he he he.