Mohon tunggu...
KANG NASIR
KANG NASIR Mohon Tunggu... Administrasi - petualang

Orang kampung, tinggal di kampung, ingin seperti orang kota, Yakin bisa...!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sembahyang Jum'at di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

13 Juli 2016   23:03 Diperbarui: 13 Juli 2016   23:26 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara adzan Jum’at  terdengar dari Masjid Gedhe Kauman, kebetulan saya yang sedang mudik dan menginap dirumah anak saya di Kampung Kauman, jarak dari rumah ke Mesjid ini sekitar 100 meter. Saya bergegas untuk melaksanakan kewajiban sembahyang Jum’at. Saya masuk ke Masjid melalui pintu sebelah kanan komplek masjid, ternyata Jama’ah sudah melimpah ruah, Jama’ah sudah memenuhi ruang utama dan serambi bahkan ke halaman masjid yang sudah disedikan tenda oleh pengurus masjid. Meski sudah penuh, saya berusaha melipir-melipir masuk ke ruang serambi setelah mengambil beberapa gambar dari luar masjid. Saat mengambil gambar, nampak beberapa ibu-ibu diluar masjid bergerombol, rupanya rombongan yang sedang menunggu kaum laki-laki yang sedang Jum’atan. 

Ibu ibu sedang menunggu rombongannya yang sedang jum'atan (dokpri)
Ibu ibu sedang menunggu rombongannya yang sedang jum'atan (dokpri)
Memasuki ruang serambi, meski diluar panasnya  ngentak-ngentak alias panas sekali, namun di dalam serasa ma,, nyes  tak terasa panas. Kesejukan didalam serambi yang bangunannya berbentuk limas memanjang ini bukan karena pendingin modern yangdisebut AC, tetapi karena faktor arsitektur bangunan yang luar biasa, serambi ini  tidak  di kelililingi dinding, melainkan terbuka hingga tidak ada penghalang angin masuk, ditambah  plapon yang sungguh menakjubkan, yakni  disangga oleh balok balok, pekiraan saya ukurannya  20x10 cm berjejer rapih dalam jarak yang tidak lebih dari 10 cm, diatasnya papan jati sebagai plapon utama, dengan demikian terik matahari panasnya seperti apa, tidak tembus ke bawah. Oleh karenanya, banyak Jama’ah yang betah istirahat atau membaca Alqur,an di serambi ini meski Jum’atan sudah selesai.

Arsitektur plafon utama bangunan Serambi yang bisa menahan panas matahari (dokpri)
Arsitektur plafon utama bangunan Serambi yang bisa menahan panas matahari (dokpri)
Setelah Jum’atan selesai, saya sengaja masuk ruang utama Mesjid yang posisinya lebih tinggi dari serambil, tembok Masjid ini sangat tebal, ciri bangunan sebelum abad 19, sedangkan pintu masuk, lebar tapi tidak tinggi. Diruang ini lebih terasa sejuknya, karena atap Masjid sangat tinggi bersusun tiga dipadukan dengan tiang-tiang penyangga dari kayu jati yang sangat kuat. Disisi kanan, terdapat   terdapat mimbar bertingkat tiga dari kayu yang di cat dengan warna keemasan,kemudian ditengahnya tempat Imam memimpin sholat atau yang biasa disebut Mihrab. 

Susunan Atap bertumpang dan plafon ruangan utama masjid (dokpri)
Susunan Atap bertumpang dan plafon ruangan utama masjid (dokpri)
Mimbar dengan warna keemasan (dokpri)
Mimbar dengan warna keemasan (dokpri)
Mihrab atau Pengimaman (dokpri)
Mihrab atau Pengimaman (dokpri)
Yang menarik dari sekian bangunan yang adadidalam ruang utama ini adalah bangunan yang sepintas terlihat seperti sangkar,dicat dengan warna hijau keemasan, saya kemudian bertanya kepada petugas yang ada, ternyata namanya Maksura yang dulu dijadikan tempat raja melakukan sembahyang. Kini tempat itu banyak digunakan para pengunjung yang baru pertamakali sembahyang di Masjid ini untuk melakukan sembahyang sunah, semoga saja niat sembahyangnya tetap karena Allah, bukan karena tempatnya yang biasa dipakai raja. 

Tempat raja raja melaksanakan sembahyang (dokpri)
Tempat raja raja melaksanakan sembahyang (dokpri)
Jika dilihat dari arsitektunya, bangunan Masjidini tidak ada badanya dengan Masjid-Masjid yang dibangun oleh para penyebar Islam sebelum abad 19 seperti Masjid Agung Banten yang dibangun pada masa Kesultanan Sultan Hasanudin Banten pada abad ke 16, atau Masjid Agung Demak yang dibangun oleh  para Wali Songo pada abad ke 15. Ini bisa dilihat dari susunan atap yang bertumpang dan didepannya terdapat serambi, sedangkan sebelum Memasuki Masjid dikelilingi kolam yang dulunya berfugsi sebagai tempat mencuci kaki sebelum memasuki Masjid dan sekarang hanya di jadikan sebagai aksesori untuk menambah keasrian sekeliling Masjid.

Masjid Gedhe Kauman tampak depan, nampak terdapat pintu gerbang Masjid (dokpri)
Masjid Gedhe Kauman tampak depan, nampak terdapat pintu gerbang Masjid (dokpri)
Masjid Agung Banten, tanpa pintu gerbang Masjid (www.dewimagazine.com)
Masjid Agung Banten, tanpa pintu gerbang Masjid (www.dewimagazine.com)
Menurut salah seorang Pengurus Masjid yang tidak saya tanya namanya, tiap Jum’at, masjid ini tak penah kosong, apalagi saat Lebaran, bukan hanya warga jogja yang Jum’tan di sini, tapi orang orang sedang mudik atau berwisata ke Jogja, banyak yang mengambil kesempatan untuk bersembahyang di Masjid yang di bangun abad 18 ini. Hanya saja, kita perlu hati hati, lebih baik memakai sandal jepit jika berangkat sembahyang, jangan pakai sandal kulit yang bagus, karena resiko tertukar atau diambil orang lain lebih besar seperti saya yang kehilangan sandal kulit kesayangan, tapi ihlas saja,semoga yang mengambilnya tidak punya niat untuk jadi maling,, ha ha ha..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun