Yang namanya  Idhul Fitri  atau dikenal juga dengan ‘’Lebaran’’, dimanapun pasti sama dalam pemaknaan, yakni hari yang suci, hari  yang dijadikan sarana untuk saling memaafkan, terlebih kepada orang tua. Dihari itulah biasanya anak-anak kumpul dirumah orang tua untuk minta ampunan kepada orang tua, makanya banyak masyarakat yang meskipun berpayah payah di jalan, mudik ke kampung halaman untuk sekedar silaturrahmi dan minta maaf kepada orang tua dan handai tolan.
Demikian halnya dengan saya, hari pertama Lebaran, sudah menjadi tradisi keluarga, setelah Idhul Fitri, semua anak dari orang tua, tidak pulang ke rumah masing masing, tetapi langsung  ke rumah orang tua, yakni embah dari anak saya atau eyang dari anaknya anak saya. Acara utama adalah sungkeman, namun beda dengan sungkeman di Jawa, dalam keluarga saya cukup bersalaman dan mengucapkan permintaan maaf, tidak perlu formal,  selesai dan impaslah dosa kepada orang tua.
Di rumah ini sudah disediakan ‘’bekak’’ atau ayam bakar khas Banten dan ‘’Ketupat’’ dipadukan dengan soto khas Banten pula,  yang isinya tetelan dari ‘’kaki kerbau’’ untuk disantap puluhan anak cucu cicit orang tua saya hasil dari kembang biak 9 orang anak. Secara matematis, orang tua saya punya anak 9, dari sembilan anak itu menghasilkan cucu sebanyak 25 orang dan dari 25 Cucu, 7 orang sudah menghasilkan cicit 10 orang, jadi jumlah jamleh orang tua saya yang sekarang ayah berumur 90 tahun  dan Ibu 85 tahun –alhamdulilla masih sehat wal’afiat --  punya 9 anak,25 cucu dan 10 orang  cicit. Oleh karenanya  sudah menyandang gelar mbah buyut.
Tepat pukul 10 pagi, saya meluncur ke Jogja via darat, tentu nyetir sendiri. Perkiraan saya hari lebaran kondisi jalan sudah sepi, ternyata masih ramai. Memasuki Jakarta, setelah Gerbong Tol Karang Tengah, perjalanan sudah mulai merayap, cenderung macet, pemicunya hanya karena antri bayar tol  di Gerbang Tol Tomang.Â
Dari Tomang hingga Cibubur, kendaraan tambah menumpuk, laju kendaraan sudah mulai tersendat, laju kendaraan tidak lebih dari 20km perjam, itupun disertai dengan berhenti jalan, berhenti jalan. Sepanjang jalan tol Cikampek hingga km 66, semua rest area ditutup polisi karena penuh. Ini menjadi masalah bagi kendaraan yang sebelum masuk tol tidak mengisi bahan bakar secara penuh, paling tidak, sepanjang jalan dihantui oleh perasaan was was jangan jangan kehabisan BBM. Untungnya, saya sudah pasang strategi jitu, penuhi BBM sebelum masuk tol, sehingga untuk urusan BBM, aman terkendali.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.WIB, sementara jalan masih merayap dan kondisi perut sudah mulai keroncongan. Namun karena sudah saya perkirakan sebelumnya, bahwa rest are sepanjang tol pasti ramai dan penuh sesak orang istirahat dan makan, makanya saya dan adik adik  – kebetulan adik adik saya 3 keluarga mudik dengan kendaraan masing masing--,  sudah menyiapkan bekal ala orang kampung. Jadi tak peduli rest area penuh atau tidak, kami bisa berhenti dimana saja asal ada tempat parkir.Â
Jadilah kami menikmati makan siang dipinggir jalan tepatnya di km 91. Dengan beralaskan tikar yang memang sudah dipersiapkan, rame rame menyantap bekal, ada bekak, daging empal, sambal terasi, sungguh nikmat rasanya menikmati ini meskipun diganggu oleh bisingnya suara kendaraan yang melaju.
Lepas pintu tol, memasuki jalan arteri Berebes Tegal, masih juga tersendat, saya pikir ini akan macet hingga Tegal, tapi ternyata hanya tersendat akibat adanya antrian kendaraan baik motor maupun mobil yang akan mengisi BBM di SPBU terdekat. Setelah itu lancar selancar lancarnya. Saya menggenjot kendaraan tanpa istirahat hingga memasuki Tol Semarang, di rest area tol inilah tepatnya di Ungaran saya pinggirkan mobil untuk sekedar cari minum yang hangat dan pengganjal perut yang sudah mulai kerocongan.