Mohon tunggu...
KANG NASIR
KANG NASIR Mohon Tunggu... Administrasi - petualang

Orang kampung, tinggal di kampung, ingin seperti orang kota, Yakin bisa...!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Runtuhnya Kewibawaan Hukum

12 April 2016   00:41 Diperbarui: 12 April 2016   08:38 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="illustrasi, caripengertian.com"][/caption]Seorang ahli hukum menyusul bertanya: ‘’Dan bagaimana tentang Undang-undang kita? Dijawabnya: ‘’Kalian senang meletakkan perundang-undangan. Namun lebih senang lagi melakukan pelanggaran’’, Bagaikan anak-anak yang asyik bermain di tepi pantai yang penuh kesungguhan menyusun pasir jadi menara , kemudian menghancurkan sendiri sambil gelak tertawa ria……

Bisa jadi kegundahan Kahlil Ghibran yang digoreskan melalui puisi diatas bisa dijadikan sebagai gambaran runtuhnya kewibawaan dan bobroknya kehidupan hukum saat ini. Ghibran, seorang penyair kesohor telah memotret bagaimana kebobrokan hukum itu terjadi pada zamannya, yang membuat bobrok dan runtuhnya kewibawaan hukum itu ternyata bukan penjual arang atau pengemis yang kerjanya minta minta, tapi justru dilakukan oleh orang orang yang selalu berbicara atas nama hukum, pembuat/penegak hukum itu sendiri.

Gambaran Ghibran seperti diatas, nampaknya pas juga untuk menerawang bagaimana ‘’hukum’’ di negeri kita. Hukum tidak hanya digunakan untuk menjebloskan si pencuri sandal jepit, tapi hukum sudah menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan. Adapun pedagangnya bukan ‘’pedagang’’ asongan atau pedagang kaki lima, tapi para pendekar yang berjubah hitam berdasi putih yang bermarkas di sekitar lembaga Peradilan. Mang Jebrod, anak buah Toto ST Radik, si Penyair abad ini menyebutnya aktifitas perdagangan ini dengan nama ‘’Mafia Peradilan’’.

Para mafioso peradilan ini berjalan melenggak lenggok seolah betul betul sebagai pendekar hukum, statusnya bisa seorang Hakim, seorang Jaksa, seorang terdakwa atau bisa juga seorang pengacara. Untuk tidak menghindari ‘’sesuatu’’ yang ber-implikasi hukum, maka saya menyebutnya ‘’oknum’’.
Adapun cara kerjanya sebagaimana yang sudah dirumuskan undang-undang di sebut ‘’suap’’. Modusnya adalah jual beli perkara, sebuah tindakan transaksional yang bisa mempengaruhi proses peradilan bahkan kemungkinan sampai pada putusan peradilan itu sendiri.

Pertanyaan bodoh lantas menyeruak, mengapa hal ini terjadi. Jika pertanyaan itu disampaikan dalam sebuah diskusi atau seminar, maka saya jamin jawabannya akan beragam. Namun dari keberagaman itu, paling tidak, bisa diambil suatu konklusi  –menurut saya tentunya --, bahwa hal ini terjadi lantaran hukum tidak lagi menjadi pegangan moral para –sebagian-- penegak hukum, makanya hukum dan perasaan keadilan bisa diperjual belikan dengan tawaran tawaran tertentu –yang menggiurkan tentunya – yakni fulus alias Uang.

Ahirnya Uang menjadi Panglima dalam proses peradilan di negeri yang dasarnya amat jelas dan terang yakni Pancasila dan UUD 1945, tentu jika tak ketahuan. Tapi jika ketahuan KPK maka uang itu tidak lagi sebagai Panglima, melainkan sebagai senjata berbahaya dan beracun karena ''pedagangnya'' akan menjadi pesakitan yang sama sekali tidak beradab, tidak bermoral dan tidak bunya -rasa-- kemaluan.

Orang yang saya sebut dibawah ini adalah sebagian dari para pesakitan yang berasal dari para pendekar hukum karena telah memperdagangkan hukum, diantaranya Hakim Setyabudi  ditangkap KPK   terkait Perkara bansos di Bandung. Akil Muhtar, orang yang punya jabatan setinggi langit di badan peradilan, dijebloskan ke bui lantaran jual beli perkara di MK, Jaksa Sistoyo ditangkap KPK terkait penyuapan,  Sekarang lagi ribut soal ditangkapnya Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Bandung karena di duga ada indikasi penyuapan. Dari barisan Pengacara bisa dicatat disini yakni Susi Tur Andayani. Pengacara mungil ini juga di tangkap KPK terkait suap Pilkada Lebak dan OC Kaligis yang dijadikan pesakitan karena tersandung jual beli perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.

Jadi, benarlah bahwa “hukum itu rusak karena ulah penegak hukum itu sendiri”

 

 

CATATAN.
TulisaN ini saya persembahkan untuk para pesakitan yang awalnya punya status Hakim, Jaksa, Pengacara, atau terdakwa yang terbukti melakukan suap atas perkara atau yang tertangkap oleh Tangan KPK. Adapun yang selain mereka mereka ini, tidak usah membaca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun