‘’Iya, tapi kamu tidak harus melakukan itu’’, balas Takin.
‘’Lha emang kenapa, kan hasilnya lumayan, buat biaya pendidikan Manav, supaya pinter’’.
‘’Saya ingin mewujudkan mimpi almarhum, mudah mudahan jadi Kepala Desa kelak’’. Marni meyakinkan Takin.
‘’ Pebuatan kamu, tetap saja perbuatan bejad, perbuatan yang memalukan’’, kata Takin kelihatan sewot di sms itu.
Bergetar hati Marni, tersayat perasaan Marni, ia kemudian menelungkupkan wajahnya diatas bantal, air matanya meleleh tanda ia amat sedih. Sedih dicaci maki oleh sahabatnya yang paling baik dan satu satunya yang mengerti tentang kehidupannya sebagai seorang janda yang menghidupi anaknya dengan cucuran keringat sendiri hanya karena ingin mimpi almarhum suaminya bisa terlaksana. Menjadikan Manav orang pintar dan berharap menjadi Kepala Desa, jika besar kelak.
Teringat ucapan almarhum suami dan cacian sahabatnya, kesedihan Marni makin menjadi-jadi, ‘’apa yang salah dengan diriku’’, bathin Marni menjerit.
Cling…., terdengar lagi bunyi sms, dibacanya pesan dari Takin yang baru masuk ‘’, Dari pada kamu di kota, menjual diri hasilnya untuk menghidupi keluarga,  sebaiknya kamu pulang saja ke kampung’’.
Menjual diri ?, Sungguh tega Takin mengatakan itu, pikir Marni.
‘’Mas, daripada mas bicara yang menyakiti hati Marni, lebih baik saya dikasih racun Sianida saja mas, biar saya menyusul mendiang ayahnya Manav’’, ujar Marni
‘’Tanpa itu juga, kamu sudah meracuni anakmu Manav, dikasih makan dari hasil menjual diri’’, Takin mengulangi kemarahannya.
‘’Menjual diri apa mas, saya itu setelah pulang dari toko, mencari konsumen, menawarkan satu produk, jika saya dapat banyak konsumen, fee nya lumayan’’, kata Marni.