Mohon tunggu...
Moch. Marsa Taufiqurrohman
Moch. Marsa Taufiqurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum (yang nggak nulis tentang hukum)

Seorang anak yang lahir sebagai kado terindah untuk ulangtahun ke-23 Ibundanya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengintip Sedikit Sisi Baik Omnibus Law

7 Mei 2020   21:03 Diperbarui: 7 Mei 2020   20:57 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan negara hukum yang seringkali tak dapat dimungkiri adalah potensi disharmonis regulasi yang mengakibatkan apa yang disebut Richard Susskind sebagai hyper regulations. Sebuah istilah yang kemudian populer disebut obesitas hukum. Regulasi yang saling tumpang tindih menjadi faktor akut yang justru melahirkan ketidakpastian hukum, kesenjangan perlakuan dihadapan hukum, bahkan alienisasi HAM.

Sehingga dapat disimpulkan, regulasi dapat dikatakan baik apabila regulasi tersebut tidak terlalu banyak dan tidak berbelit-belit. Hal ini yang kemudian membuat Presiden Jokowi meminta secara langsung agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatasi perundang-undangan dan mengusulkan pembentukan Omnibus Law. Tak lain ditujukan untuk menghilangkan kerumitan khususnya untuk perkembangan ekonomi dan bisnis.Sekaligus menghindari adanya transaksi dalam penyusunan undang-undang. Harapan ini melengkapi beberapa pembicaraan Presiden Jokowi sebelumnya tentang gejala over regulations di Indonesia serta tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan.

Terbukti hingga saat ini terdapat 8.426 peraturan di tingkat pusat, 14.621 Peraturan Menteri, 4.221 Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), serta 15.965 Peraturan Daerah. Bahkan, hanya dalam jangka waktu tiga bulan terakhir, jumlah Peraturan Menteri meningkat signifikan, bertambah sebanyak 114 peraturan dari sebelumnya dari sebelumnya berjumlah sebanyak 14.507 peraturan. Banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia bukan tanpa akibat. Menumpuknya peraturan-perundangan tersebut menyebabkan tumpang tindih di antara peraturan perundang-undangan.

Fakta diatas memperlihatkan bahwa selama dua dekade terakhir reformasi hukum justru belum sepenuhnya dapat merespon permasalahan yang ada. Permasalahan lain juga terlihat pada rendahnya minat berusaha di Indonesia akibat rumitnya birokrasi perizinan. Hal ini tak lain juga disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang banyak dan saling tumpang tindih. Misalnya dalam hal penanaman modal, seorang investor tidak hanya terpaku dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal saja, melainkan juga denganUndang-UndangNomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (berkaitan perizinan oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap penanaman modal), Undang-Undang yang menyangkut Perpajakan, serta Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan perizinan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu Undang-Undang (terkait penanaman modal saja) belum mampu memberikan kepastian usaha kepada penanam modal (investor), melainkan juga harus menyesuaikan dengan aturan-aturan lain.

Sehingga tak pelak jika data kemudahan berusaha oleh Bank Dunia tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu berada di peringkat 73 dengan skor 67,96 poin. Tertinggal jauh dengan negara lain Vietnam 68,36 di peringkat 69, Singapura di peringkat 2 dengan skor 85,24.  Bahkan berada di bawah Malaysia dan Thailand dengan masing-masing skor 80,60 dan 78,45. Alhasil, Global Competitiveness Report tahun 2019 juga hanya menempatkan Indonesia di peringkat 50 dalam hal daya saing, tertinggal jauh dari Singapura yang berada di peringkat 1, Malaysia di peringkat 27, dan Thailand di peringkat 40.

Sehingga sistem regulasi Omnibus Law agaknya dapat dinilai cocok untuk dapat memperbaiki keadaan-keadaan di atas. Dengan mengandalkan konsistensi dan kerapihan penyusunan peraturan perundang-undangan yang disederhanakan, menyeragamkan kebijakan pusat dan daerah, menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran, serta mengatasi tumpang tindih peraturan dinilai menjadi langkah praktis dalam mengentaskan permasalahan-permasalahan hukum yang ada.

Namun bukan tanpa hambatan, banyaknya sektor yang masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law dengan pembahasan yang cepat akan mempersempit ruang partisipasi publik untuk mengawal pembentukan Undang-Undang. Omnibus Law juga menuai berbagai macam penolakan. Salah satunya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dinilai paling banyak mendapat kritikan. Selain tidak adanya transparansi naskah akademik, RUU tersebut menjadi sorotan utama karena dianggap tidak berpihak kepada pekerja. Mereka khawatir hadirnya Omnibus Law dapat merenggut hak-hak para pekerja.

Omnibus Law sebagai Bentuk Deregulasi, Debirokrasi, dan Reformasi Struktural

Sasaran pembangunan jangka menengah 2020-2024  menuntut terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing, salah satunya melalui kelembagaan politik dan hukum yang mantap sebagai pilar pembangunan. Untuk itu, diperlukan adanya politik hukum yang stabil bidang legislasi. Proses politik hukum ini dicoba untuk direspon dengan keinginan politik dari Pemerintah melalui RUU Omnibus Law sebagai komitmen untuk melakukan pembenahan regulasi, demi tercapainya kesejahteraan umum dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sehingga dalam hal ini, RUU Omnibus Law berkaitan erat dengan pembangunan hukum, sumber daya manusia, dan ekonomi dalam menghadapi disrupsi teknologi akibat terjadi revolusi industri 4.0.

Sumber: klikwarta.com
Sumber: klikwarta.com

Bila ditinjau lebih dalam, penerapan Omnibus Law mempunyai beberapa implikasi baik. Pertama, mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien. Kedua, menyeragamkan kebijakan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi. Ketiga, pengurusan izin lebih terpadu, efisien, dan efektif. Keempat, mampu memutus mata rantai birokrasi yang berlama-lama. Kelima, meningkatnya hubungan koordinasi antarinstansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan yang terpadu. Dan keenam, adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun