Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 21 Maret 2020 telah mengeluarkan surat keputusan tentang penundaan beberapa tahapan Pilkada akibat bencana virus Covid-19. Ada empat tahapan Pilkada yang ditunda pelaksanaannya.Â
Pertama, pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Kedua, verifikasi syarat dukungan calon kepala daerah perseorangan. Ketiga, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih. Kemudian yang terakhir adalah tahapan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Tidak lama setelah menunda empat tahapan Pilkada, KPU pada tanggal 24 Maret 2020 mengeluarkan Surat Edaran yang pada intinya meminta KPU Kabupaten/Kota agar menunda masa kerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).Â
Penundaan masa kerja tersebut, tidak terlepas dari tahapan Pilkada yang sebelumnya telah ditunda oleh KPU. Penundaan tahapan Pilkada berikut masa kerja PPK serta PPS, membawa dampak pula terhadap pengawas Pemilihan Umum (Pemilu) di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.Â
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui Surat Edaran tertanggal 27 Maret 2020, memberi perintah kepada Bawaslu Kabupaten/Kota agar memberhentikan sementara Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan serta Panwaslu Kelurahan/Desa. Pemberhentian sementara terhitung sejak tanggal 31 Maret 2020.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai bagaimana mencari landasan hukum yang tepat terhadap adanya penundaan Pilkada serentak ini.Â
Pada dasarnya penyelenggaraan Pilkada didasarkan atas Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.Â
Dari rumusan konstitusi itu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menyelenggarakan pemilu, termasuk menentukan tahapan-tahapannya adalah KPU.Â
Pemilihan kepala daerah, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 9 huruf b bahwa KPU berwenang mengoordinasi dan memantau tahapan pemilihan. Sedangkan tahapan-tahapannya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk provinsi, kabupaten atau kota.
Namun kemudian Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015) telah menentukan bahwa dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan.Â
Sehingga kasus bencana virus Covid-19 ini dapat dikategorikan sebagai bencana alam yang termasuk di dalam klausula pasal tersebut.Â
Sebagaimana sebelumnya Pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional.Â
Hal tersebut juga diperkuat dengan Pasal 121 ayat (1) UU 1/2015 yang menyatakan bahwa dalam hal di suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan susulan.Â
Kemudian dilanjutkan di dalam ayat (2) pasal tersebut yang menjelaskan bahwa Pelaksanaan Pemilihan susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan.
Secara teknis, Pasal 65 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota (PKPU 12/2016) memungkinkan usul penundaan tahapan pemilu/pilkada (dalam kasus ini adalah kampanye) datang dari kepolisian karena pertimbangan gangguan keamanan.Â
Selain itu, ada juga sebutan 'penundaan' dalam Pasal 54 C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016), yakni penundaan yang dilakukan jika hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar pada pemilihan gubernur, bupati, atau walikota. Jika ini yang terjadi, implikasinya adalah perpanjangan masa pendaftaran kandidat.
UU Pilkada Tak Cukup Dijadikan Landasan Penundaan
Di sisi lain, Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 UU 1/2015, tidak mampu memberikan landasan hukum bagi penundaan pilkada secara nasional.Â
Dasar hukum penundaan yang ada di dalam UU tersebut tersebut hanya bisa diterapka  secara parsial daerah per daerah terbatas pada wilayah yang mengalami kondisi luar biasa, serta harus dilakukan secara berjenjang dari bawah ke atas.Â
Dalam hal ini dampak penundaan tidak hanya dihitung parsial per daerah, tapi harus dilihat dalam skala keserentakan pilkada dengan pendekatan nasional.Â
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda Pilkada 2020 dianggap penting bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi landasan hukum dalam menerbitkan keputusan untuk menunda seluruh tahapan Pilkada 2020.
Namun KPU telah memutuskan untuk menunda pelaksanaan beberapa tahapan pilkada. Aktivitas tahapan yang sudah diputuskan untuk ditunda antara lain pelantikan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih.
Sehingga implikasi teknis dari penundaan akan berdampak pada kontinuitas tahapan pilkada lainnya. Serta bisa menggeser hari pemungutan suara, karena itu aktivitas inti Pilkada.
Kondisi tersebut juga beririsan dengan sebaran daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020. Dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada tersebut tersebar di 32 provinsi di Indonesia.Â
Hanya DKI Jakarta dan Aceh yang tidak terdapat pelaksanaan Pilkada 2020. Di satu sisi, tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan cukup signifikan antara lain penyelenggara pemilu ad hoc di level kecamatan dan sebagian kelurahan sudah terbentuk. Selain itu, bakal pasangan calon perseorangan sudah mendaftar dan sudah pula diteliti berkas admininstrasinya oleh KPU di daerah.
Sehingga dapat disimpulkan untuk menunda pemungutan suara yang semula telah ditetapkan pada tanggal 23 September 2020, tentu KPU harus mempunyai landasan hukum yang kuat. Hal ini penting dimiliki, mengingat UU 10/2016 telah menyebut dengan jelas pemungutan suara dilaksanakan bulan September tahun 2020.Â
Maka sangat jelas jika diperlukan  hukum untuk segera merevisi undang-undang Pilkada. Namun, melihat situasi yang sangat mendesak, nampaknya tidak mungkin bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi undang-undang karena itu membutuhkan waktu yang lama. Hal tersebut menegaskan bahwa dibutuhkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memuat ketentuan, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.Â
Penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  yang berbunyi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Perppu yang Bagaimana?
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU/VIII/2009, kegentingan memaksa harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kebutuhan mendesak persoalan hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.Â
Pilkada secara spesifik telah diatur dalam undang-undang untuk diselenggarakan pada September 2020. Namun, hal itu hampir tidak bisa dilaksanakan karena faktor pandemi Covid-19.
Kedua, adanya kekosongan hukum, atau ada undang-undang, akan tetapi tidak mencukupi. Dalam Undang-Undang Pilkada tidak menyediakan alternatif proses penyelenggaraan Pilkada apabila terjadi bencana dengan waktu yang tidak pasti.Â
Sampai saat ini, tidak ada pihak yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berhenti. Ketiga, terdapatnya kekosongan hukum yang tidak bisa diatasi dengan prosedur biasa, yaitu dengan membuat undang-undang.Â
Selain memakan waktu lama, rapat-rapat di DPR pun mensyaratkan berkumpulnya banyak orang dalam satu ruangan. Hal ini, jelas bertentangan dengan prinsip physical distancing yang dikeluarkan organisasi kesehatan dunia atau WHO.
Melihat situasi dan kondisi yang terjadi saat ini, tiga syarat bagi presiden untuk mengeluarkan Perppu tentang penundaan Pilkada 2020 telah terpenuhi. Dengan adanya Perppu, KPU mempunyai payung hukum kuat untuk menyelamatkan proses penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020.
Dalam penyusunan Perppu Pilkada, ada beberapa hal utama yang hendaknya diperhatikan. Pertama, Perppu harus memuat dengan jelas teknis pengelolaan tahapan, jadwal, dan program Pilkada.Â
Kedua, Perppu harus mengatur tentang anggaran penyelenggaraan Pilkada. Kemudian yang ketiga, bagaimana dengan kelanjutan status penyelenggara pemilihan ad hoc yang saat ini ditunda masa kerjanya atau berhenti sementara. Keempat, Perppu Pilkada harus menjelaskan prosedur pengisian kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum terpilihnya kepala daerah definitif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H