“The wise do as much as they should, not as much as they can” – French Proverb
Sejak Covid-19 menyergap Wuhan, Tiongkok, dan kemudian meluas ke 159 negara kawasan di Asia, Eropa, dan Amerika, perekonomian global menjadi benar-benar terpukul.
Ketidakpastian ini berlanjut kepada penurunan kinerja pasar leuangan global, fluktuasi mata uang dunia, serta terjadinya pergeseran investasi pada aset keuangan yang dianggap aman. Bahkan secara langsung maupun tidak langsung, menyebabkan aktivitas sektor riil terancam kolaps.
Semua itu disebut sebagai risiko sistemik sebagai potensi instabilitas keuangan yang sering menghantui. Seperti analogi sebuah jalan raya yang ramai lancar tanpa hambatan yang tiba-tiba berubah ketika sebuah truk terguling dan menutup jalan.
Kemudian kecelakaan beruntun pun tak dapat dihindari, lalu lintas seketika terganggu. Kemacetan pun dengan cepat menular dan merebak ke jalan lain, membuat para pengemudi menggerutu dan semakin panik.
Sama persis dengan kejadian macet yang menular, risiko sistemik adalah potensi instabilitas, karena adanya gangguan yang menular pada sebagian atau seluruh sistem keuangan. Risiko sistemik terjadi akibat pertemuan shock dan vulnerability.
Shock adalah peristiwa yang memicu terjadinya krisis. Sama seperti fenomena pandemi Covid-19, yang di dalam cerita tadi dapat diibaratkan seperti supir truk yang mengantuk ataupun kabut yang menghalangi pandangan.
Sedangkan vulnerability adalah karakteristik sistem keuangan yang dapat mempercepat penyebaran shock. Seperti panic buying sebagai reaksi kekhawatiran masyarakat yang menyebabkan tidak seimbangnya permintaan dan penawaran pada pasar. Bila diibaratkan di cerita tersebut kondisi ini berupa jalan yang berlubang, ataupun kerusakan mesin truk.
Maka ketika shock dan vurnelability saling bertemu terjadilah kecelakaan yang akhirnya menyebabkan kemacetan.
Memang, dalam memitigasi risiko sistemik yang dapat diakibatkan oleh pandemi Covid-19, Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif dengan melakukan kebijakan makroprudensial melalui strategi operasional. Yakni Identifikasi Prioritas Risiko Sistemik melalui Balanced Approach Assesment, dan Perumusan Kebijakan Makroprudensial.
Otoritas keuangan dunia pun juga menyadari pentingnya sebuah kebijakan agar makroprudensial aman terjaga dan dapat melengkapi kebijakan lainnya dalam mengantisipasi terjadinya krisis keuangan akibat pandemi ini.. Namun, itu semua tidaklah cukup menjamin keberlanjutan stabilnya perekonomian kita, apabila kita tidak bijak dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Memangnya, dimana posisi kita terhadap stabilnya sistem keuangan?
Sedikit kembali ke cerita kemacetan tadi, jika jalan raya terdiri dari ruas-ruas jalan yang dipenuhi berbagai macam jenis kendaraan, maka sistem keuangan juga seperti itu. Sistem keuangan terdiri dari bank, institusi keuangan non bank, perusahaan non keuangan, serta rumah tangga yang terhubung dengan insfrastruktur keuangan.
Jadi di saat kita berbelanja, berinvestasi, atau kegiatan keuangan lainnya, saat itu juga kita menjadi rumah tangga yang terhubung dengan insfrastruktur keuangan. Artinya secara sadar atau tidak sadar kita sangat berkaitan langsung dengan stabilitas sistem keuangan.
Otomatis di saat kita lengah saat berkendara, tidak bijak dalam mengatur dan mengelola keuangan hingga menimbulkan kecelakaan, kita dapat membuat kemacetan yang berujung pada terjadinya risiko sistemik.
Sehingga dengan kata lain, jika kita tidak bijak, maka perilaku kita dapat menjadi droplet penularan kebuntuan finansial yang paling riskan.
Lalu apa saja perilaku yang dapat menimbulkan risiko tersebut?
Panic Buying justru Memperkeruh Dampak Pandemi
Salah satunya adalah panic buying. Fenomena masyarakat berbondong-bondong membeli komoditas utama guna mengamankan diri dari wabah Covid-19 yang memang sedang naik daun.
Komoditas utama yang menjadi incaran seperti masker, hand sanitizer, dan bahkan kebutuhan pokok sehari-hari seperti makanan dan minuman. Apalagi para penimbun dan spekulan turut serta dan gencar dalam panic buying ini, guna dapat menarik keuntungan lebih.
Mereka yang terjangkit panic buying seringkali kehilangan kontrol atas diri mereka, lalu melakukan apa yang perlu mereka lakukan. Di sisi lain membeli sembako dan obat-obatan memang dianggap tidak akan membantu dalam posisi lebih aman, tapi setidaknya mereka menganggap panic buying dapat memberi rasa tenang dan rasa seakan-akan memegang kontrol.
Memang tidak ada yang salah jika mereka membeli barang seisi toko. Pasar seakan tidak peduli dengan masalah moral, keadilan, dan kesejahteraan hidup semua manusia.
Pasar tidak peduli terhadap spekulan yang tiba-tiba memborong stok masker sampe ludes. Invisible hand adalah istilah ekonomi pada situasi seperti ini.
Yang menjadi ironi adalah perilaku kita yang mematikan kerasionalan. Padahal pemerintah sendiri sudah menyatakan stok pangan cukup, jadi tidak perlu lah belanja berlebihan karena panik.
Akibat kepanikan sebagai droplet menular ini memunculkan peluang kenaikan harga yang semakin tinggi atau terjadinya inflasi, yang berujung pada terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Kita harusnya sadar bahwa kita adalah manusia yang saling bersaudara justru sebenarnya dapat bekerja sama untuk menyelamatkan diri kita semua, tanpa perlu ada yang harus dikorbankan.
Panic Selling Tidak Sepenuhnya dapat Menyelamatkan Investasi
Jika di pasar konvensional terjadi panic buying, maka di pasar modal terjadi panic selling. Panic selling juga merupakan reaksi yang muncul dari rasa takut berlebihan akibat harga saham jatuh. Sehingga membuat para pemilik saham menjual sahamnya tanpa menggunakan pertimbangan fundamental.
Memang, akibat pandemi ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang normalnya berharga Rp.6.000 sempat anjlok ke harga Rp.4500. Namun panic selling ini tentu saja berbahaya untuk perekonomian.
Namun itu tidak berhenti di sana karena panic selling akan berlanjut yang beresiko merusak pasar modal. Bayangkan jika fenomena panic selling dan panic buying terjadi berbarengan maka akan terjadi kehancuran perekonomian yang dahsyat. Imbasnya tentu saja akan menghancurkan perekonomian dunia.
Jika itu sampai terjadi maka akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan, kehilangan dana pensiun, kehilangan rumah yang mungkin akan menyebabkan kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya akan terjadi. Bila skenario terburuk ini sampai terjadi, maka manusia yang selalu mengaku beradab bisa menjadi biadab, manusia bisa kehilangan sisi kemanusiaan itu.
Dengan kondisi saat ini perlukah kita melakukan reedeming terhadap investasi kita?
Jawabannya tidak, sebab bisa saja kita kehilangan kesempatan untuk take profit setelah dunia investasi kembali normal. Bukankah kita juga pernah berhasil melewati krisis 1998? Saat itu harga dollar yang mencapai 17.000 rupiah dapat drastis menguat hingga 8.000 rupiah per dollarnya.
Menyebar Berita Hoaks Tidak akan Mejadikan Kita Terkenal seperti Selebriti
Banyak pula informasi yang tidak boleh kita telan secara mentah-mentah di tengah pandemi ini. Apalagi secara sembarangan dibagikan ke orang lain. Bukan hanya informasi bohong, bahkan misinformasi juga dapat menjadi sebuah hoaks.
Mulai dari informasi Paus Fransiskus yang terinfeksi Covid-19. Juga yang tidak kalah heboh, hoaks tentang orang-orang yang banyak berjatuhan di jalan raya seperti layaknya zombie di film-film Hollywood. Hingga misinformasi mengenai banyak orang yang sedang berbelanja dan mengantre di suatu pusat perbelanjaan untuk memborong bahan makanan seperti mie instan, hand sanitizer, maupun masker.
Kepanikan akibat ketidaktahuan dan berita hoaks bisa menyebabkan seseorang bertindak serampangan, bayangkan jika kepanikan terjadi pada ribuan bahkan jutaan orang, bukan hal yang mustahil jika ekonomi bisa ikut terganggu.
Kita perlu bijak terhadap informasi yang ada, dengan bersikap wawas diri terhadap hal-hal negatif dan informasi yang belum pasti kebenarannya. Jangan sampai informasi yang kita dapat maupun kita sebar justru menambah kepanikan. Sebab hal yang sepele ini juga akan sangat berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan mencegah terjadinya krisis.
Berbagi kabar baik tentang perkembangan wabah Covid-19, menyampaikan pengetahuan dari sumber terpercaya, dan membantu melawan hoaks adalah beberapa hal baik kecil yang berdampak besar.
Menolong Sesama dapat Menjadi Aksi
Pandemi Covid-19 merupakan kejadian luar biasa yang menuntut kerja sama di tingkat global hingga individu. Krisis kali ini menuntut kita semua bertindak lebih cepat.
Solidaritas menjadi kunci utama di tengah krisis ini. Saat ini setiap elemen bangsa patut mengangkat semangat gotong royong. Kita dapat berada di jalur yang benar dengan tidak melakukan kegaduhan sosial yang siginifikan.
Kita dapat membantu mereka usaha-usaha kecil yang sedang berjuang di tengah krisis ini. Kita bisa membeli kebutuhan tidak hanya di satu tempat. Misal beli beberapa barang di supermarket, lalu beli barang lainnya di penjual kecil dekat rumah saat perjalanan pulang. Dengan ini kita sudah cukup membantu para penjual untuk bisa terus mendapatkan pemasukan.
Atau kita juga bisa membantu UMKM lokal dengan memakai produknya. Seperti membeli produk masker kain UMKM. Meski tak seefektif masker medis, namun masker kain masih bisa membantu meminimalisir paparan virus. Setidaknya pemerintah juga sedang menghimbau kita untuk menggunakan masker setiap keluar dari rumah. Sehingga usaha ini dapat membantu mereka tetap berpenghasilan dan mempertahankan roda usahanya.
Jika hal itu masih berat, kita juga bisa menggunakan media sosial sebagai media promosi UMKM sekitar yang terdampak pandemi Covid-19. Walaupun hanya share di story atau sekedar me-retweet, kita sudah membantu UMKM tersebut untuk dikenal dan diketahui banyak orang.
Sesekali kita juga dapat membeli makanan melalui ojek online. Bekerja dari rumah mungkin tak berlaku bagi sebagian orang yang harus keluar rumah untuk mencari nafkah, termasuk ojek online. Dengan sesekali beli makanan melalui ojek online, setidaknya membantu mereka agar tetap berpenghasilan. Tak ada salahnya juga memberi uang tip atau pesankan makanan untuk mereka juga.
Rezeki berlebih yang kita punya juga dapat didonasikan melalui platform atau organisasi penyalur yang terpercaya. Terlebih jika donasi tersebut disalurkan dalam wujud uang, makanan, APD untuk tenaga medis, atau paket kesehatan berisi hand sanitizer, masker, dan multivitamin untuk mensupport mereka yang masih harus beraktivitas di luar rumah di tengah pandemi.
Pada akhirnya kita perlu bijaksana dalam setiap keputusan dan perilaku kita. Sebab kebuntuan finansial tidak kalah menular dari Covid-19 dan kegagalan ekonomi tidak kalah pandemi dari virus paling berbahaya sekalipun. Seperti pepatah Perancis mengatakan bahwa orang bijak melakukan sebanyak yang seharusnya, bukan melakukan sebanyak yang mereka bisa.
Tetap bijaksana, dan jaga kesehatan selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H