Keberhasilan teknologi digital dalam mengembangkan aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya telah membuat batas-batas konvensional kedaulatan negara menjadi tidak lagi dapat dikendalikan. Hal ini ditegaskan dengan hilangnya batas status kependudukan warga negara menjadi sebuah komunitas masyarakat digital yang disebut dengan digital society. Sehingga fenomena ini membuat negara-negara di dunia membutuhkan regulasi yang dapat mengontrol perkembangan dunia digital.
Pada kebutuhan awal, regulasi ini ditujukan untuk mengendalikan perang digital (Digital War) di dalam dunia bisnis agar tidak menyisakan terlalu banyak korban konsumen. Namun, masifnya penetrasi teknlogi digital yang seiring dengan perubahan perilaku sosial manusia membuat negara-negara di dunia juga berusaha membangun ketahanan digital di bidang sosial-politik.Â
Hal ini ditegaskan dengan fenomena bocornya data intelejen Amerika Serikat dan kasus Edward Snowden yang membuat Jerman tersadar untuk membangun regulasi ketahanan siber. Tidak berselang lama, konsep kedaulatan digital (Digital Sovereignity) juga mulai diperkenalkan di dalam kesepakatan non-aggression elements Rusia -- Tiongkok.Â
Di Eropa, Prancis merupakan salah satu negara yang terus berkonsentrasi untuk menyusun konsep Digital Sovereignity pada tingkat kerjasama antar negara. Hal ini ditegaskan oleh keseriusan Prancis dalam membangun batas minimum keamanan digital, melalui penguatan penyedia layanan keamanan siber dalam bisnis dan sosial, serta penguatan kerjasama politik berbasis CSIRTs (Computer Security Incident Response Teams). Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa teknologi digital telah menandaskan bahwa kedaulatan digital yang dibentuk dalam ketahanan siber telah menjadi unbundling and partial relocation dari otoritas negara.
Hampir tidak dapat dipungkiri, dari berbagai negara yang telah menetapkan kedaulatan digital dan ketahanan siber selaras dengan alasan keamanan data nasional setelah terjadinya kasus-kasus pembobolan penting yang berkaitan dengan rahasia negara.Â
Meski beberapa juga mendasarkan terhadap alasan ekonomis dari timbulnya fenomena perang ekonomi digital yang menghasilkan ketergantungan negara terhadap penguasa ekonomi dunia. Sehingga muncul istilah balkanisasi internet di Rusia, China, dan Brasil yang mengatur ketat arus internet. Hal ini menegaskan bahwa perkembangan teknologi digital telah benar-benar berhasil menetralisir kedaulatan sebuah negara.
Sementara di Indonesia, pada tahun 2018, pengguna layanan internet telah mencapai 171,17 juta dengan penetrasi 64,8% dari seluruh kalangan dan usia.Â
Pada laporan lainnya, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Bahkan, Indonesia merupakan peringkat pertama dalam hal pertumbuhan pengguna internet, dan peringkat keempat dalam kepemilikan telepon genggam di dunia.Â
Ditambah kasus e-KTP tahun 2018, sebagaimana data digital penduduk Indonesia disinyalir berada di perusahaan asing dan tersebar di luar negeri. Meski Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan garansi keamanan, namun hal ini tidak menjadi jaminan.Â
Hal ini disebabkan oleh belum adanya perangkat hukum keamanan data digital yang terintegrasi dan tidak adanya kerjasama internasional terkait keamanan data digital yang ditransmisikan dan diakses di luar yurisdiksi hukum Indonesia. Sehingga hal ini menegaskan diperlukannya regulasi keamanan dan ketahanan siber di Indonesia.Â
Meninjau Kesiapan Indonesia dalam Membentuk Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber
Keamanan dan ketahanan siber bagi sebuah negara dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menguasai dan mengendalikan akses dan transaksi atas data digital secara penuh. Selain itu, berkaca dari kasus peretasan data pribadi konsumen dalam penggunaan teknologi finansial, Equifax -- sebuah perusahaan tekfin internasional, sehingga hal tersebut mengisyaratkan harus adanya adanya perlindungan hak privasi warga negaranya di tengah sistem demokratis.