Biografi
Nama Ramadhan Teguh Imana mungkin terdengar biasa saja bagi sebagian orang. Namun, ketika nama panggungnya disebut, yaitu "Mamah Rr," nama tersebut membawa daya tarik tersendiri. Mamah Rr dikenal sebagai salah satu sinden pria yang unik, istimewa, dan langka di Indonesia. Nama panggung ini memiliki kisah yang unik. Saat mengikuti ospek jurusan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, seorang kakak tingkat memberinya julukan "Mamah Rr" secara spontan. Awalnya, nama ini hanyalah candaan biasa, tetapi seiring waktu, nama tersebut menjadi identitas khas Ramadhan di dunia seni. Julukan tersebut tidak hanya melekat di kalangan mahasiswa ISBI, tetapi juga mulai dikenal luas di dunia seni tradisional Sunda.
Ramadhan lahir di Bandung pada 14 Januari 1998 dan kini berusia 26 tahun. Ia berasal dari, Kampung Cijagra, yang terletak di Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung. Kehidupannya di kampung halamannya memberikan banyak pengaruh pada pandangannya terhadap seni dan budaya. Meskipun tidak berasal dari keluarga seniman, kecintaan Ramadhan terhadap seni muncul secara alami sejak kecil. Ia tumbuh dalam keluarga yang memiliki rasa cinta mendalam terhadap seni Sunda. Meski keluarganya tidak menekuni seni sebagai profesi, mereka sering memperdengarkan kaset-kaset musik tradisional seperti Degung dan Kacapi Suling, yang tanpa disadari menjadi pondasi awal kecintaan Ramadhan terhadap seni tradisional.
Kini, Ramadhan bukan hanya seorang seniman, tetapi juga seorang pengajar. Ia menjalani profesi sebagai guru honorer di Ciwidey, daerah yang dikenal dengan nuansa pedesaannya yang kental. Dalam kesehariannya, ia mencurahkan waktu dan energi untuk mendidik generasi muda sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya Sunda. Baginya, menjadi pengajar tidak hanya tentang mengajar pelajaran formal, tetapi juga menanamkan cinta terhadap budaya lokal kepada murid-muridnya. Sebagai seorang guru dan seniman, Ramadhan merasa memiliki tanggung jawab ganda untuk menginspirasi generasi muda agar tidak melupakan akar budaya mereka, terutama di tengah arus modernisasi yang semakin kuat.
Profesi sebagai sinden pria yang ia jalani menjadikannya salah satu figur yang langka dalam seni tradisional Sunda. Peran ini bukan hanya unik, tetapi juga membawa tantangan tersendiri. Sebagai seorang laki-laki, menempuh jalan sebagai sinden adalah sesuatu yang tidak umum dan membutuhkan keberanian serta dedikasi tinggi. Namun, Ramadhan tidak pernah merasa terbebani. Sebaliknya, ia menganggap ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa seni tidak mengenal batas gender. Melalui suaranya yang khas dan kemampuannya yang mumpuni, ia berhasil mematahkan stereotip, membuktikan bahwa siapa saja bisa berkontribusi dalam melestarikan budaya jika memiliki tekad dan kecintaan yang tulus.
Latar Belakang Pendidikan
Perjalanan hidup Ramadhan penuh dengan liku-liku, terutama dalam hal pendidikan. Ia menempuh pendidikan dasar di SD Cincin 2, sebuah sekolah yang menjadi awal mula ia mengenal seni melalui berbagai kegiatan sekolah. Saat melanjutkan ke jenjang SMP, ia sempat berpindah-pindah sekolah. Awalnya, ia masuk ke SMPN 2 Ciwidey tetapi hanya bertahan satu semester karena harus ikut bersama saudaranya. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di SMPN 2 Katapang hingga lulus. Selepas SMP, Ramadhan memiliki cita-cita besar untuk melanjutkan pendidikan di bidang seni. Ia sempat ingin masuk ke SMK 10 Bandung, sekolah yang dikenal memiliki jurusan seni, namun keinginannya tersebut terhalang oleh keterbatasan biaya dan jarak. Orang tuanya khawatir biaya kos akan menjadi beban, sementara jika ia harus pulang pergi, jaraknya bisa di bilang lumayan jauh. Akhirnya, Ramadhan melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Katapang, sebuah sekolah umum yang memberinya ruang untuk tetap menyalurkan minatnya pada seni meskipun tidak memiliki fokus khusus pada bidang tersebut. Semangat Ramadhan untuk belajar seni tidak pernah pudar meski ia tidak bersekolah di SMK seni. Pada akhirnya, setelah menyelesaikan pendidikan SMA, ia berhasil melanjutkan pendidikannya ke Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada tahun 2015. Di ISBI, ia memilih jurusan yang berfokus pada seni tradisional dan mulai dikenal sebagai sinden pria dengan kemampuan vokal yang unik.
Awal Ketertarikan pada Seni
Ketertarikan Ramadhan Teguh Imana pada seni, khususnya seni tradisional Sunda, telah tertanam sejak ia masih kecil. Meskipun berasal dari keluarga yang bukan seniman, lingkungan rumahnya dipenuhi oleh cinta terhadap seni tradisional. Orang tuanya sering memutar kaset-kaset lagu Degung dan Kacapi Suling, dua genre musik khas Sunda yang mengalun lembut, memenuhi suasana rumah mereka. Tanpa disadari, irama-irama tradisional tersebut menjadi bagian dari masa kecil Ramadhan, membentuk fondasi awal kecintaannya pada seni.
Saat memasuki masa sekolah, kecintaan tersebut mulai diarahkan dengan lebih jelas. Ketika duduk di bangku SMP, Ramadhan bergabung dengan ekstrakurikuler karawitan, salah satu wadah seni tradisional yang mengajarkan berbagai alat musik dan nyanyian khas Sunda. Di sana, ia mulai menemukan passion-nya terhadap seni suara. Berkat suara uniknya yang lembut dan berbeda, Ramadhan sering mendapat kepercayaan untuk tampil sebagai penyanyi calung. Penampilannya tidak hanya diapresiasi oleh teman-teman sebaya, tetapi juga oleh guru-gurunya. Bahkan, ia beberapa kali diundang untuk menyanyi di acara-acara sekolah, termasuk hajatan para guru, yang menjadi pengalaman panggung pertamanya.
Namun, perjalanan seni Ramadhan tidak selalu mulus. Ketika ia melanjutkan pendidikan ke SMA, sekolah yang ia pilih tidak memiliki ekstrakurikuler karawitan, tempatnya menyalurkan minat dan bakat. Tetapi Ramadhan tidak menyerah. Dengan semangat yang besar, ia memulai inisiatif untuk membentuk ekskul karawitan di sekolahnya. Bersama teman-temannya, ia berusaha menghidupkan kembali seni tradisional di lingkungan sekolah dengan peralatan yang seadanya. Perjuangannya ini menunjukkan dedikasi yang besar terhadap seni dan budaya Sunda, meskipun tantangan terus berdatangan.