Sastra merupakan sebuah ungkapan diri manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Dalam sastra mempunyai beragam cerita yang menjadikan sejarah dengan istilah sejarah sastra yang menjadi matakuliah wajib dibidang ilmu bahasa maupun ilmu sastra.
Sejarah sastra di Indonesia memiliki banyak angkatan dengan berbagai macam ragam genre ataupun bentuk karya sastra yang diciptakan oleh pendahulu. Misalnya pada Era Sastra Melayu Lama; Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatra seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatra lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa.Â
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Setelah Era Sastra Melayu Lama dibentuk juga angkatan-angkatan setelahnya, seperti; Angkatan Balai Pusataka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960-an, Angkatan 1966-1970-an, dan 1980-1990-an.
Banyak Tokoh Sastra yang lahir dari angkatan tersebut, dari masing-masing angkatan memilki ciri, genre, dan pengalaman yang berbeda. Banyak Aspek yang telah mereka lewati, Dari situasi negara, sosial, politik, serta pendidikan. Kendati demikian, aspek-aspek tersebut memengaruhi para Tokoh pada karyanya.
Hamzah Al-Fansuri (Angkatan Pujangga Lama) dengan karyanya "Syair Pedagan", Syamsuddin Pasai (Angkatan Melayu Lama) dengan karyanya "Filsafat, Tauhid, dan Ketuhanan", Chairil Anwar (Angkatan '45) dengan karyanya "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus", Hamka (Angkatan Pujangga Baru) dengan karyanya "Tenggelamnya Kapal van der Wijck", Pramoedya Ananta Toer (Angkatan '45) dengan Tetralogi Buru, dan masih banyak lagi.
Dari berbagai nama tersebut karya-karya yang dilahirkan menuai proses yang begitu dalam, dari pelbagai situasi yang dilalui dan pelbagai perjuangan atas situasi dan kondisi pada era itu. Proses sentimen politik yang begitu tegang, situasi penjajahan, bahkan situasi pemburuan para aktivis.
Yang menarik perhatian saya adalah proses lahirnya Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang lahir pada masa Pram dipenjara di Pulau Buru tanpa diadili. Pada saat itu Pram dituduh sebagai antek komunis dikarenakan bergabung dalam LEKRA sebagai lembaga kebudayaan rakyat. Pada saat itu LEKRA banyak melahirkan karya-karya sastra dan pertunjukan seni yang mengkritik pemerintahan saat itu. LEKRA bersebrangan dengan Angkatan '66, LEKRA yang mengusung realisme-sosialis yang menjadi filsasat seni kaum komunis. Pram dipenjara tanpa diadili, dimana Pram terpaksa mendekam di penjara Pulau Buru.Â
Pram tidak terima atas perlakuan pemerintah, Ia tetap menulis secara diam-diam yang melahirkan karya masterpiece Pram melalui empat novel Pram; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang diberi nama Tetralogi Buru karena proses penulisan yang Ia lakukan di Pulau Buru. Dalam karya tersebut Pram sangat mengkritik keras pemerintahan yang Ia siasati dalam karya-karya tersebut. Bahkan Tetralogi Buru sempat dilarang diedarkan oleh Pemerintahan Soeharto karena dianggap mengandung ajaran-ajaran komunisme.
Bagaimana Pram menulis Tetralogi Buru yang sangat begitu penting bagi sastra Indonesia bahkan hampir memenangi penghargaan Nobel, Pram menulis amarahnya terhadap apa yang telah dilakukan Negara olehnya. Pram menulis dengan kondisi yang tidak mengenakan. Menulis dengan situasi yang sepi, diasingkan oleh Negara, bahkan dituduh musuh Negara. Tetapi jiwa Pram tidak hanyut oleh situasi itu, jiwa Pram mencerminkan Tokoh-tokoh di dalam buku yang Ia tulis, layak Minke di Bumi Manusia.
Meskipun Pram telah wafat, semangat tetap hidup dalam karya-karyanya dan tidak akan pernah mati. Pram merupakan cerminan ajaib dalam sejara sastra Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H