Mohon tunggu...
Iqbal Mochamad
Iqbal Mochamad Mohon Tunggu... -

Takdir adalah garis, kita sendiri pencipta indah kelengkungannya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hipolavoitte (Part5)

27 Maret 2011   09:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala hati berguncang bagai halusinasi resonansi, kudengar senandung nada syahdu, lantunan syair merdu, dawai2 semu, dari lisan penebar tanya, dan dia pembuat jawab pula. Usai derita kejap dalam perkenalan singkat. Tak lama dia melekukkan tangan'a untuk sekedar berjabat. Itu kubaca sebagai tanda pemberi harap. Antara sahaya saling teror nama.

Bincang perekatan terasa begitu bermakna. Laun2 kata2a mulai mengguncang sukma, tergoyah kelu hati yg dulu kelabu. Menjadi pilar tanpa pasak ditengah buih ombak laut merah. Kurasa dia mulai membaca apa yg di dalam benakku dgn benar2 memperhatikan gerak si hitam mata. Lain risih malah buat ku takjub. Tak kulihat saat lampau, mata indah penuh isyarat. Kedip'a pun terhitung walau tak ada niat ku berbilang. Wajah'a beriak menandakan sebuah keterikatan. Kurasa dia mencoba mengulur benang2 batin. Menelurkan sindrom2 nama'a dalam ingatan. Dia bkan pertama bkan tentu pula terakhir yg melakukan semacam itu. Lain dari itu, dia tetap menggugah lidah untuk terus berkelit menghadang setiap kata yg dia rakit. Awalan yg tidak cukup buruk untuk menjadi lawan pelontar kata sepertiku. Tak ada jenuh pula, selalu sama dalam fase betha. Fase dimana setiap goyang intonasi memberi arti lain bagi lawan bicara.

Tak terasa, perbincangan dua lisan telah terasa lama. Ku menghela nafas lagi dia telah meminum segelas air. Ada mata yg meruncing tajam memandangiku. Tak kutahu pula dia siapa. Ingin kutanya pada gadis bergelang merah di sebelahku. Namun enggan, tak ada guna memancing masalah walau dengan i'tikad baik. Lebih baik tidak. Lebih baik ku hiraukan.

Bagai dayung bersambut. Tak lama seorang kawan lama menepak pundukku, lalu sedikit berbisik, sontak ku terhenyak, ku tersenyum lagi berpikir. Ternyata aku telah didekati pawang yg dirindukan seekor macan. Ada yg merasa tertekan dan terhilang menatapku berdua dengan'a. Bergegas ku berdiri dan menemui si pengirim amanat sambil ucap pesan untuk meninggalkan sang pembuka mata hati. Ku berada dalam panas kobaran api yg inti'a sedang ku dekati. Harus ku hadapi panas'a sekarang dan kupadamkan segera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun