Sejenak terdiam, langit tenang bagai tertawa dalam kedamaian, angin hilir haru bagai puas mencibir, tanah sekedar diam tanpa daya. Terbuai tertikam sambil tertegun dalam perantauan, hingga menepi pada titik kekalutan, belum sempat tegak dari lautan darah merah, perebah duka pengukir luka. Penghapus kerinduan akan lamunan tanpa awalan. Bagai jeritan-jeritan hampa yang berpendar dalam telinga. Teringat dalam akan sang kuasa, lalu terperosok jauh terhadap kesadaran. Tak lama tubuh kian berguncang, bagai dijejali segerombolan kekuatan alam, hendak ku terhilang kendali akan raga. Sesaat mata terbuka, kedip pertama hendak mereka meninggalkan dalam pesakitan, ku teriakkan nama mereka hingga puncak kepekaan terasa. Bersamaan kilatan guntur bertebaran, angin riuh merepuh jiwa berpuluh, tanah bergetar mencecar nista. Seolah kini mereka memihakku, mewujudkan emosi dalam seni amarah alam. Mereka pembuat luka menatapku penuh takjub, seakanku terang bercahaya. Lain dari itu ragaku sekedar berbinar. Berbiritlah mereka lari. Melupakan imbalan yang hendak kuberikan dari pukulan yang mereka jejalkan. Terbaringlah aku di detik ke dua belas atas jawaban terhadap kebenaran. Kebenaran atas hukum alam dan kuasa tuhan. Kusebut itu kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H