Aku tertegun mendengar kata-katanya, seperti malu tapi aku senang, seperti lucu tapi aku terhanyut. Kata-katanya sederhana, tapi kata-kata itu belum pernah diberikan padaku oleh orang padaku. Mungkin ini yang disebut dengan kekuatan kata-kata untuk mempengaruhi orang lain.
"Terimakasih sekali lagi, tapi dari mana anda mendengar kata-kata sedemikian itu. Bukankah kata-kata itu lebih tepat digunakan untuk merayu?"
Kali ini pemuda bernama Hito itu tidak membalas. Ia mengambil segelas kopi lalu meminumnya. Tubuhnya yang dari tadi condong ke depan kini ditariknya kebelakang bersandar. Apakah ia malu dengan pertanyaanku? Sehingga ia memilih untuk berdiam diri? Sebaiknya ia segera menjawab pertanyaanku itu, agar obrolan ini tetap menyenagkan.
"Mbak Yasmin sendiri, selalu saja saya melihat mbak membaca koran di warung ini."
"Oh.. ini adalah kebiasaan saja, saya suka membaca koran."
"Jadi seperti itu, saya lebih suka meliahat berita di televisi dibandingkan membaca."
"Ya, itu lebih mudah dilakukan"
Kami berhenti melalukan obralan sejenak, sebelum obrolan sempat dilanjutkan Hito pergi meninggalkan warung. Ia mengucapkan terimakasih kepadaku atas waktu yang aku berikan kepadanya. Aku membalasnya dengan senyuman sambil berfikir bahwa ia akan kembali datang besok atau mungkin lusa. Mungkin saat itu tiba kami akan berada pada obrolan yang lebih menyenagkan dari hari ini.
Keesokan harinya, pemuda itu  tidak mengunjungi warung. Mungkin besok ia akan datang. Sebenarnya hari ini aku sudah menyiapkan kata-kata untuk menyapanya. Tapi kata-kata itu bisa aku simpan. Perasaanku tidak lagi sepi dan berbeda. Kali ini aku memilih untuk sekedar duduk-duduk di depan warung melihat jalan raya dibandingkan membaca koran di dalam warung. Kata-kata pemuda itu berpengaruh dalam pada diriku. Sepertinya kini aku menantikan kedatangannya.
Lusa ia tak datang juga, aku menantinya kembali untuk esok,atau bahkan untuk lusa. Aku sangat berharap ia datang ke warung lagi. Apakah mungkin ia sedang sibuk? Pikiranku bertanya-tanya sekaligus menjawabnya sendiri, aku memaksa diriku untuk tenang. Lagi pula ini bukan waktu yang lama, lagi pula tidak biasanya aku menantikan seseorang seperti ini.
Kemudian lima hari telah berlalu, satu minggu, dua minggu, dan tiga minggu. Kemana perginya pemuda bernama Hito itu? Aku menjadi gelisah. Aku berdoa ketika aku sendiri tidak peduli akan doa. Doa-doaku yang bimbang adalah harapanku yang cemas.Â