"Mak, belikan Kopen sepatu ya Mak!"
Emak tidak menjawab permintaan Kopen. Barangkali karena warung makan Emak sedang ramai, memang selalu ramai, sehingga sulit untuk memberi perhatian pada dua hal yang berbeda. Keadaan seperti ini sudah sangat dihafal oleh Kopen dan tentu saja oleh Emak. Sayangnya Kopen dan Emak tidak pernah menyadari kebiasaan ini. Memang demikian yang namanya kebiasaan, biasanya dilupakan.
"Mak, tempe sudah habis?"
"Toko mas Jolen tadi bukakan Pen?"
"Nggak lihat Mak. Tempe habis mak?"
"Nah, kok nggak lihat? barusan kamukan pulang sekolah lewat toko mas Jolen, kopi habis ini kopi, belum dikirim, lupa pasti dia itu. Ambil sana Pen!" Kopen bergegas, Emak memberitahu pengunjung warung bahwa kopi sedang dibeli. "Tunggu dulu ya kopinya, habis, masih diambilkan."
Pengunjung mengangguk dan melanjutkan menyantap makanannya. Sementara Emak masih saja repot menyiapkan makanan untuk pengunjung yang lain. Sederhana saja yang disediakan di warung Emak, nasi pecel dan nasi campur, kopi dan teh manis, panas dan es, tapi pengunjung yang datang lain dari sederhana, sudah cukup membuat Emak tidak berhenti kesana kemari.
Warung Emak sudah bediri semenjak Kopen masih kecil. Emak tidak punya pilihan, harus terus hidup, saat itu adalah ketika Kopen masuk sekolah menengah pertama, suaminya meninggal akibat kecelakaan di tempat kerja. Tidak ada alasan seorang janda beranak satu menangis setiap malam berkabung, waktu akan terus berjalan. Dari tekad untuk terus hidup itulah kini Kopen bisa terus bersekolah sampai memasuki tahun terakhirnya di SMA Gunung Kidul. Warung Emak adalah bukti perjuangan hidup yang harus dihadapi.
"Mak, tutup toko mas Jolen." Meletakkan kopi di atas meja sebelah kompor gas.
"Nah ini?" Menanyakan asal-muasal kopi.
"Di sana." Kopen mengarahkan mukanya ke arah tempat ia membeli kopi.