Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen|Wanita Tak Kasatmata

8 November 2018   10:34 Diperbarui: 8 November 2018   12:06 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bocor pak!"

Seorang pemuda sambil membuka kaca helm motornya memperjelas maksud kedatangannya pada bapak tukang tambal ban. Motor bebek tahun 2009 itu masih sangat mulus, kiranya tidak pernah terlambat pemuda itu mencucinya setiap minggu meski di musim hujan begini. Sedang apes rupanya, sehingga yang tadinya terburu-buru, kini pemuda itu harus pasrah diam membiarkan waktu berjalan mengambil jadwal kehidupannya yang selalu sibuk bahkan untuk setiap detiknya. Memang tidak akan kita jumpai seringai riang raut muka manusia bila menghadapi kebocoran ban, di cuaca yang tidak bersahabat apalagi.

Bapak tukang tambal ban diam seribu bahasa. Pemuda tidak lagi berkata apa-apa. Deras air hujan yang menghantam atap seng gubuk tambal ban yang menjadi satu dengan gubuk warung kopi terdengar bersahabat membungkam si bapak dan si pemuda. 

Suasana terasa canggung bagi si pemuda, si bapak dengan tenang melakukan pekerjaannya, sementara si pemuda melepas helm dan jas hujannya kemudian meletakkan keduanya di pembatas gubuk.

Warung kopi tampak sepi, satu orang pembeli dan satu orang penjual di dalam menjadi penghuni lain gubuk itu. Pemuda canggung itu masuk dengan pakaian kebasah-basahan lalu memesan kopi.

"Kopi Buk!"

Satu pisang goreng hangat mungkin menjadi sasaran selanjutnya. Sambil menantikan kopinya, sambil ia memperhatikan sekitar. Matanya terus berkeliaran kesana-kemari. Sebentar memperhatikan ruangan, sebentar melihat pembeli lain seperti wanita seusianya yang sedang membaca koran, sebentar memperhatikan bapak tukang tambal ban, dan sisanya melihat hujan yang begitu nyaman membasahi jalanan. Kopi datang dan pemuda itu kembali menjadi satu-satunya yang bersuara di gubuk itu, wanita keibuan pemilik warung memberikan kopi dengan santai tanpa seucap kata.

"Ohh, iya."

Sejurus kemudian empat makhluk bernyawa dan berakal menjadi penghuni misterius gubuk warung kopi dan tambal ban di pinggir jalan itu. Perlahan pemuda tidak lagi canggung, pikirnya seperti inilah manusia ketika didekap alam. 

Mencari persembunyian menimbun harapan dan mencari kehangatan di sisa kenyamanan. Kopi hitam satu gelas kecil kaca bening di atas lepek yang juga kaca adalah penampilan khas kopi warung-warung pinggiran di Indonesia. Kopi itu kini ada di depan si pemuda dengan asap yang menari-nari di dinginnya suasana sore itu.

Jemari pemuda meraih gelas dengan hati-hati perlahan. Kemudian memindahkan posisi badannya menghadap si bapak tukang tambal ban. Pandangannya mantap ke arah si bapak tanpa kecanggungan. Kopi panas ditiupnya dengan tenang mungkin untuk sekedar mencari aman. Lepek di tangan kiri, di bawah gelas kopi yang diapit jemari tangan kanan menengadah kelabakan. Kopi untuk sementara berhenti kepanasan, tak lagi memberi kesempatan, kopi diseruputnya perlahan. Satu tegukan. Kopi dalam gelas berkurang tak lebih dari satu sendok makan. Mata si pemuda melotot tidak tertahan. Lidahnya terjingkat menari keranjingan. Bukan main benar bukan. Pemuda berbinar-binar, sudah tentu kopilah yang menjadi alasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun