alam. Beberapa prinsip penting disebutkan, seperti:
Gambar di atas menunjukkan diagram yang sepertinya membahas prinsip-prinsip yang ditemukan dalam "Serat Paramayoga" karya Rangga Warsita yang membahas hubungan antara manusia dan1. Hanguripi berarti memberikan kehidupan.Â
2. Hangrungkepi berarti mengorbankan.Â
3. Hangruwat berarti menyelesaikan masalah.Â
4. Hananta berarti mengatur atau mengelola.Â
5. Hamengkoni berarti memberi petunjuk.Â
6. Hangayomi berarti menjaga.Â
7. Hangurubi berarti memberi semangat atau menginspirasi.Â
8. Hamemayu berarti mempercantik atau memperbaiki.
Apa (what) itu "Diskursus Kepemimpinan Ranggawarsita" merujuk pada pemikiran dan konsep kepemimpinan yang dapat diambil dari karya-karya serta ajaran Raden Ngabehi Ranggawarsita, seorang pujangga besar dari Kesultanan Surakarta pada abad ke-19. Sebagai salah satu tokoh utama dalam kesusastraan Jawa klasik, Ranggawarsita dikenal melalui karya-karyanya yang memuat pandangan filosofis, spiritual, dan sosial, termasuk mengenai kepemimpinan.
Inti dari Diskursus Kepemimpinan Ranggawarsita:
Kepemimpinan Visioner (Pemimpin Bijak): Ranggawarsita, dalam banyak tulisannya, menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kebijaksanaan (kawicaksanan) dan wawasan luas. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya memimpin berdasarkan kekuasaan, tetapi dengan kebijaksanaan yang mampu mengarahkan rakyatnya kepada kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan. Hal ini mencerminkan nilai "raja sekti" yang berarti seorang pemimpin harus kuat namun juga bijaksana dan peka terhadap rakyatnya.
Pemimpin sebagai Pengayom dan Pelindung: Dalam pandangan Ranggawarsita, seorang pemimpin ideal harus menjadi pengayom (pelindung) rakyatnya. Pemimpin yang baik melindungi dan memperhatikan kepentingan rakyat, memperlakukan mereka dengan adil, dan senantiasa menjaga harmoni dalam masyarakat. Ini dapat dikaitkan dengan konsep kepemimpinan Jawa tradisional, di mana seorang pemimpin (raja atau penguasa) harus menjadi simbol stabilitas dan keamanan.
Kepemimpinan Berdasarkan Etika dan Spiritualitas: Pemikiran Ranggawarsita banyak diilhami oleh nilai-nilai kejawen yang sangat mengedepankan etika dan spiritualitas. Seorang pemimpin, menurut ajarannya, harus mampu menjaga harmoni antara kekuasaan duniawi dan spiritual. Ini berarti pemimpin harus menjalankan tugasnya dengan laku prihatin (pengendalian diri, kedisiplinan, serta kesederhanaan) dan kesadaran spiritual yang mendalam.
Kepemimpinan dalam Konteks Zaman Kalabendu: Salah satu karya terkenal Ranggawarsita adalah "Serat Kalatidha," yang menggambarkan zaman kalabendu (zaman kehancuran, penuh kebingungan dan kekacauan). Dalam karya ini, Ranggawarsita memberikan nasihat bahwa pemimpin harus tetap tabah, tegar, dan bijaksana meskipun zaman penuh kesulitan. Pemimpin yang mampu memimpin di masa sulit adalah yang tetap berpegang pada kebenaran dan kebajikan, serta tidak terjebak dalam keinginan duniawi.
Pemimpin yang Mampu Melihat Tanda-Tanda Zaman (Waskita): Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan waskita, yaitu kemampuan melihat dan memahami tanda-tanda zaman. Ini mencakup pemahaman terhadap dinamika sosial, politik, dan spiritual dalam masyarakat. Pemimpin yang waskita mampu membuat keputusan yang bijaksana karena ia dapat membaca situasi dengan lebih mendalam.
Kepemimpinan yang Harmonis dengan Alam: Dalam pandangan Jawa, termasuk yang disampaikan oleh Ranggawarsita, kepemimpinan juga harus memperhatikan hubungan dengan alam semesta. Pemimpin yang baik adalah yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan-kekuatan supranatural. Harmoni ini penting untuk mencapai kedamaian dan kemakmuran dalam masyarakat.
Relevansi Pemikiran Ranggawarsita dalam Kepemimpinan Modern:
Pemikiran Ranggawarsita tentang kepemimpinan masih relevan dalam konteks kepemimpinan modern. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, pengayoman, etika, spiritualitas, dan kemampuan membaca tanda-tanda perubahan zaman menjadi semakin penting dalam dunia yang kompleks dan penuh ketidakpastian saat ini.
- Kepemimpinan etis yang berfokus pada kesejahteraan publik dan keadilan sosial dapat diambil sebagai pelajaran dari ajaran Ranggawarsita.
- Kepemimpinan yang adaptif dan mampu merespons krisis dengan bijaksana, sebagaimana digambarkan dalam zaman kalabendu, juga relevan di era perubahan dan disrupsi modern.
Â
Gambar kedua melanjutkan diskusi dari "Serat Paramayoga" karya Rangga Warsita dan menambahkan kerangka tambahan dari "Serat Ramajarwa" karya R. Ng. Yasadipura, berfokus pada ASTA BRATA, metafora kepemimpinan. masih menekankan hubungan antara manusia dan alam, seperti:
1. Hanguripi berarti hidup.
2. Hangrungkepi berarti berkorban.
3. Hangruwat: menawarkan solusi.
4. Hananta—Mengatur.
5. Hamengkoni adalah pemandu.
6. Hangayomi berarti mempertahankan.
7. Hangurubi—memberi inspirasi atau semangat.
8. Hamemayu berarti meningkatkan.
Prinsip-prinsip kepemimpinan ASTA BRATA, berdasarkan unsur-unsur alam, diuraikan di bawah ini dalam bentuk metafora:
1. Ambeging Lintang—Bintang dapat melambangkan kepemimpinan dan bimbingan.
2. Ambeging Suryo—Matahari adalah simbol vitalitas dan pencerahan untuk kepemimpinan.
3. Ambeging Rembulan—Bulan adalah simbol ketenangan dan introspeksi, sehingga cocok untuk kepemimpinan.
4. Ambeging Mendhung—Kepemimpinan yang menyerupai awan bisa merujuk pada keteduhan atau kemampuan beradaptasi.
5. Ambeging Geni—Ambeging geni mirip dengan api dan melambangkan energi dan transformasi.
6. Ambeging Bayu—Kepemimpinan seperti angin, yang berarti bergerak dan memengaruhi orang lain.
7. Ambeging Bumi—Kepemimpinan menyerupai bumi, yang merupakan simbol stabilitas dan landasan.
Konsep kepemimpinan metaforis dimaksudkan untuk mendorong gaya kepemimpinan yang holistik dan selaras dengan alam, yang mencerminkan berbagai karakteristik elemen alam.
mengapa (why) "Serat Paramayoga" karya Rangga Warsita yang menjadi metafora kepemimpinan?
"Serat Paramayoga" karya Raden Ngabehi Ranggawarsita sering dianggap sebagai metafora kepemimpinan karena mengandung ajaran-ajaran filosofis dan spiritual yang relevan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Dalam teks ini, Ranggawarsita mengajarkan bagaimana seseorang, termasuk seorang pemimpin, harus mencapai keseimbangan dalam hidup melalui laku spiritual dan etika yang mendalam. Berikut adalah beberapa alasan mengapa "Serat Paramayoga" dapat dijadikan metafora kepemimpinan:
1. Pencapaian Kesempurnaan Diri (Laku Yoga)
"Serat Paramayoga" menekankan pentingnya penyucian diri dan pengendalian nafsu melalui praktik spiritual. Dalam konteks kepemimpinan, ini mencerminkan bahwa seorang pemimpin yang ideal harus mampu mengendalikan dirinya sendiri, termasuk nafsu pribadi, ego, dan keinginan duniawi. Pemimpin yang baik tidak hanya terfokus pada kekuasaan, melainkan juga pada pembangunan karakter yang kuat dan berbudi luhur.
Kesempurnaan diri yang dibahas dalam teks ini bukanlah pencapaian fisik, melainkan kesadaran jiwa yang tinggi—sesuatu yang sangat penting bagi seorang pemimpin untuk menghadapi tantangan dengan bijaksana dan seimbang.
2. Pemimpin sebagai Pengayom dan Pengarah
Dalam "Serat Paramayoga", Ranggawarsita mengajarkan tentang kebijaksanaan dan pemahaman mendalam terhadap kehidupan. Pemimpin yang baik harus bisa menjadi pengayom yang memimpin dengan kebijaksanaan, mengarahkan rakyat atau pengikutnya dengan penuh pengertian dan kasih sayang, seraya menjaga harmoni antara individu, masyarakat, dan alam.
Ajaran ini mengandung prinsip bahwa pemimpin bukan hanya bertugas untuk memerintah, tetapi juga harus mengayomi, melindungi, dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada rakyatnya. Seorang pemimpin harus menjalankan tanggung jawabnya dengan adil dan memberikan contoh perilaku yang baik.
3. Pengendalian Diri dan Ketulusan
"Serat Paramayoga" juga menekankan pentingnya pengendalian emosi dan ketulusan dalam menjalani hidup. Bagi seorang pemimpin, kualitas ini sangat penting untuk menghindari keputusan-keputusan yang emosional atau didasarkan pada kepentingan pribadi. Pemimpin yang mampu mengendalikan emosinya cenderung lebih mampu mengambil keputusan yang bijak dan adil.
Pengendalian diri ini juga mencakup ketulusan dalam memimpin, yaitu seorang pemimpin yang tidak hanya mencari keuntungan pribadi, tetapi juga benar-benar tulus melayani rakyat atau pengikutnya.
4. Kesadaran Akan Tanggung Jawab Sosial dan Spiritual
Di dalam "Serat Paramayoga", terdapat pesan tentang kesadaran sosial dan spiritual. Seorang pemimpin tidak hanya memimpin secara duniawi, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral dan spiritual terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Ini berarti pemimpin harus bertindak dengan rasa tanggung jawab yang lebih luas, mencakup kesejahteraan sosial, moralitas, dan spiritualitas masyarakat.
Kepemimpinan bukan hanya tentang manajemen kekuasaan, tetapi juga tentang membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, selaras dengan prinsip-prinsip spiritual yang luhur.
5. Kepemimpinan yang Harmonis dengan Alam dan Kosmos
Dalam pandangan Jawa, yang juga terefleksi dalam "Serat Paramayoga", ada hubungan erat antara manusia, alam, dan kosmos. Pemimpin yang baik harus mampu menjaga keseimbangan tidak hanya dalam konteks masyarakat, tetapi juga dengan alam dan alam semesta. Ini menjadi metafora tentang bagaimana pemimpin harus bertindak dengan keseimbangan dan keharmonisan, menjaga hubungan yang baik antara manusia dan lingkungannya.
6. Metafora Perjalanan Spiritual sebagai Kepemimpinan
"Serat Paramayoga" menggambarkan perjalanan spiritual sebagai upaya individu untuk mencapai kebijaksanaan dan kesadaran yang lebih tinggi. Dalam konteks kepemimpinan, ini bisa menjadi metafora tentang perjalanan seorang pemimpin menuju kematangan kepemimpinan, di mana ia tidak hanya bertanggung jawab pada pencapaian material atau politik, tetapi juga pada pengembangan moral dan spiritual dirinya serta orang-orang yang dipimpinnya.
Kepemimpinan yang efektif adalah sebuah proses pertumbuhan, dan "Serat Paramayoga" menggambarkan bahwa proses ini memerlukan laku batin yang mendalam, refleksi, dan kesadaran penuh akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
7. Penyelarasan antara Diri, Orang Lain, dan Alam
Serat ini juga mengajarkan pentingnya penyelarasan antara tiga komponen penting dalam hidup, yaitu diri sendiri, orang lain, dan alam. Dalam kepemimpinan, penyelarasan ini penting untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat. Seorang pemimpin yang dapat menyelaraskan dirinya dengan rakyatnya dan alam di sekitarnya akan mampu menciptakan lingkungan yang stabil, damai, dan sejahtera.
Bagaimana (how) Manunggaling Kawula Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, dan Memayu Hayuning Bawana—dibahas dalam gambar yang diberikan kepada Sultan Agung. Sepertinya prinsip-prinsip ini berkaitan dengan kepemimpinan moral dan spiritual, serta keberadaan manusia dan hubungannya dengan Tuhan.Dan ada Tiga konsep utama yaitu:
1. Persamaan Kawula Gusti
Konsep ini mengacu pada kesatuan hamba dan Tuhan. Ini menunjukkan teladan orang yang taat dan taat, yang dengan ikhlas tunduk pada kehendak Tuhan. Ini juga menggambarkan jenis kepemimpinan di mana pemimpin memberikan kesetiaan dan pengabdian, memberikan manfaat kepada masyarakat dan mencapai tujuan bersama.
2. Memperkuat Paraning Dumadi
Ini berkaitan dengan awal manusia dan kembalinya pada akhirnya. Hal ini menunjukkan keyakinan bahwa manusia adalah sesuatu yang Tuhan ciptakan dan akan kembali kepada Tuhan. Ini menekankan sifat sementara kehidupan manusia di dunia material ("alam madyo") sebelum kembali ke akhirat ("alam wasana") setelah mencapai tujuan.
3. Menghidupkan Hayuning Bawana
Prinsip ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk memperindah dan memberi makna pada dunia. Disarankan untuk menjalani hidup dengan tujuan, menabur kebaikan, dan mengelola hawa nafsu untuk menghindari keserakahan yang dapat merugikan alam semesta.
Diagram foto-foto ini menunjukkan trikotomi yang menghubungkan ketiga konsep ini, yang menunjukkan bahwa ketiga konsep tersebut merupakan elemen yang saling berhubungan dalam visi kepemimpinan Sultan Agung, keberadaan manusia, dan tanggung jawab terhadap dunia dan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H