Mohon tunggu...
Mochammad Ariq Ajaba
Mochammad Ariq Ajaba Mohon Tunggu... Pramusaji - Mahasiswa Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus

Seorang mahasiswa yang berusaha peduli tentang dunia perpolitikan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seni Jalanan Mural: Ancaman bagi Elit Politik?

2 September 2021   18:33 Diperbarui: 2 September 2021   18:37 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbesit penulis muncul pertanyaan, sudahkah negara maksimal dalam memberikan kebebasan berpendapat tersebut terhadap rakyatnya? Sudah maksimal kah? Jelas belum. 

Kita refleksikan dengan permasalahan seni mural di ruang publik yang justru mendapat tindakan pencegahan oleh aparat pemerintah berupa penghapusan mural bahkan pembuatnya juga turut terseret ke ranah hukum. Adil kah?

Menyikapi hal tersebut perlu dikupas secara runtut. Mari kita renungkan, penulis mengambil dari sebuah pepatah yakni "Tak akan ada asap jika tak ada api." 

Para seniman mengekspresikan pendapat melalui mural mustahil jika tak ada penyebabnya, jika mengaca pada substansi mural yang tengah beredar, penulis menyimpulkan rata-rata mural tersebut mengekspresikan bahwa pemerintah belum maksimal dalam menangani pandemi covid-19, disamping itu juga ketidaksetujuan terhadap kebijakan PPKM di daerah setempat. 

PPKM hanya garis besarnya, lebih dalam lagi menyangkut persoalan pembagian bansos yang kurang merata hingga mengakibatkan kurangnya kesejahteraan rakyat. Itulah mengapa masyarakat utamanya seniman membuat mural yang berisi kritikan terhadap pemerintah. 

Jelas kritikan bukan hinaan. Sayangnya, mungkin kurangnya kesepemahaman antara masyarakat dan aparat pemerintah menyebabkan tindakan yang penulis rasa menyudutkan masyarakat (pemural). 

Tak ada ruang dialog terlebih dahulu antara kedua belah pihak (masyarakat dengan pemerintah), langsung dihapus bahkan pelakunya akan ditangkap dan dibawa ke ranah hukum.

 Hal tersebut seolah-olah masyarakat dibungkam keberlangsungan dalam menyatakan pendapat dan kritikan. Apakah membuat mural dianggap telah melakukan kriminalisasi? Menuai ancaman bagi tatanan negeri khususnya elit politik? Jika tidak, mengapa perlakuan yang didapati pemural sampai dengan ditangkap dan dibawa ke ranah hukum? Kembali penulis tanyakan sekali lagi, adil kah?

Itulah mengapa fenomena penyampaian pesan melalui mural sempat digerakkan secara masif sebagai bentuk perlawanan oleh kelompok masyarakat. Sebagaimana ungkapan Wiji Thukul "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!". Pecahlah gerakan pembuatan mural di berbagai daerah setempat.

Semestinya, harus ada ruang dialog terlebih dahulu antara kelompok masyarakat dengan pemerintah sebelum langsung meniban mural-mural tersebut supaya dapat menuai kesepemahan antar kedua belah pihak dan tidak menimbulkan pernyataan yang multitafsir. 

Sebenarnya, penulis tidak terlalu mempermasalahkan jika beberapa mural dihapus, itu menandakan bahwa pesan yang ingin disampaikan sudah tersampaikan, dan pasti pemural tidak akan mempermasalahkan karena jika satu mural dihapus, masih ada ratusan mural lainnya yang akan tetap tergambarkan. Dan justru memastikan bahwa masyarakat sedang dalam keadaan "dibungkam". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun