Setelah Israel memulai invasi ke Jalur Gaza pada tanggal 7 Oktober 2023, operasi militer yang berlangsung selama 8 bulan ini telah memicu berbagai kontroversi, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil Palestina. Menurut data terbaru, sekitar 35.173 jiwa tewas dan 70.000 orang terluka di pihak Palestina, sementara Israel mencatat 1.518 jiwa tewas dan 8.787 orang terluka.
Kritik terhadap pemerintah Israel, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, semakin menguat. Di tengah desakan untuk merumuskan rencana pascaperang yang jelas di Gaza, Benny Gantz, seorang politisi sentris, mengundurkan diri dari pemerintahan darurat dan menyerukan diadakannya pemilihan umum. Situasi ini menambah tekanan bagi Netanyahu untuk bernegosiasi dengan Hamas demi pembebasan para tahanan di Gaza.
Di sisi lain, potensi konflik baru muncul di wilayah utara Israel, berbatasan dengan Lebanon. Perkembangan ini dimulai sejak pecahnya perang di Gaza, dengan ribuan penduduk lokal mengungsi dari perbatasan Israel-Lebanon. Dalam konflik ini, setidaknya 400 orang tewas, mayoritas merupakan anggota Hezbollah.
Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, menegaskan bahwa keputusan untuk menghadapi Hezbollah akan segera diambil. Ia menyatakan, "Dunia bebas harus berdiri tanpa syarat bersama Israel dalam perangnya melawan poros kejahatan yang dipimpin oleh Iran dan ekstremisme Islam. Perang kami juga adalah perang Anda."
Sementara itu, pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah, memperingatkan bahwa jika militer Israel menyerang Lebanon, mereka akan meluncurkan roket dan pesawat tak berawak ke seluruh wilayah Israel. Nasrallah bahkan mengancam Siprus, yang merupakan anggota Uni Eropa di Mediterania Timur, dengan mengatakan bahwa mereka akan menyerang jika Israel menggunakan infrastruktur Siprus untuk kepentingan militernya.
Ketegangan ini terus meningkat sejak serangan udara Israel yang menewaskan komandan tinggi Hezbollah di selatan Lebanon. Hezbollah merespons dengan melancarkan beberapa operasi militer, termasuk serangan drone ke posisi Israel di perbatasan.
Pemerintah Amerika Serikat berupaya meredakan ketegangan ini melalui pendekatan diplomatik. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menegaskan, "Kami tidak ingin melihat eskalasi konflik ini."
Namun, Hezbollah bersikeras untuk melanjutkan serangannya terhadap militer Israel hingga Israel menghentikan perangnya di Gaza, yang telah mengakibatkan lebih dari 37.000 kematian warga Palestina. Tindakan kedua belah pihak memperbesar kemungkinan pecahnya perang baru antara Israel dan Hezbollah, yang dapat berdampak besar bagi kestabilan kawasan Timur Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H