Dari ksatria menjadi "pengkhianat"; dan dari tokoh protagonis menjadi antagonis. Ungkapan-ungkapan itu yang kini sedang "disandang" Kepala Sekretariat Presiden (KSP) Moeldoko.
Semua julukan tersebut tidak lepas dari kiprah Moeldoko menjungkalkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilangsungkan di Deliserdang, Sumatera Utara.
KLB itu ditengarai tidak dilandasi etika, terutama etika keprajuritan. Apa yang melandasi "kudeta" Moeldoko terhadap AHY, dan juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tentu hanya Moeldoko saja yang mengetahui.
Namun, cara serampangan yang dilakukan Moeldoko Cs itu tak pelak telah membuat rakyat Indonesia geram.
Moeldoko dianggap sebagai "anak durhaka". Dibesarkan oleh SBY ketika menjabat sebagai Presiden RI untuk menduduki kursi KSAD, dan Panglima TNI, Moeldoko justru "bermain api" dengan ngobok-obok Partai Demokrat.
Partai yang membesarkan dan dibesarkan SBY itu sekarang terbelah dua. Hanya pembuktian legalistik saja yang dapat menjawab siapa sesungguhnya yang berhak atas Partai Demokrat. Tidak hanya sekadar pembuktian de facto.
Pembuktian secara de yure pun harus dilakukan. Coba kita lihat AD/ART Partai Demokrat hasil Munas 2020 yang telah disahkan Menkumham Yasonna H. Laoly. Pun kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY, putra sulung Presiden RI ke-6 SBY.
Memang, dalam politik, ternyata dibutuhkan politik "silat lidah". Itu dibutuhkan saat posisi terdesak. Segala jurus silat lidah harus dicoba. Tidak hanya jurus yang masuk akal. Jurus yang sesuai dengan AD/ART Partai Politik terbaru yang disahkan Menkumham.
Namun, jurus silat lidah yang tak masuk akal pun bisa merangsang pengamat dan masyarakat untuk tertawa ngakak, juga perlu dicoba. Siapa tahu dari jurus tidak masuk akal itu, ternyata justru mendatangkan keberuntungan atas pelanggaran UU Parpol yang dimiliki NKRI.
Terutama, yang dilakukan kelompok penyelenggara KLB Demokrat abal-abal di Deliserdang itu. Dan, itu yang terjadi dan digunakan oleh Ketum Partai Demokrat versi KLB Deliserdang, Moeldoko.
Padahal, penyelenggaraan KLB Partai Demokrat itu melanggar AD/ART Partai Demokrat hasil Munas 2020, yang telah disahkan Menkumham Yasonna H. Laoly. Pun kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY.
Moeldoko mengaku bersedia dipilih Ketum Partai Demokrat versi KLB Deliserdang, karena mengkudeta kepemimpinan AHY merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan negara. Menyelamatkan NKRI.
Pertanyaan pengamat yang kini bertebaran di langit, apakah Partai Demokrat itu partai milik negara. Sehingga dikaitkan dengan keselamatan negara? Alasan Moeldoko terlalu mengada-ada hingga bisa diketawain pengamat.
Kedua, jika tujuan untuk keselamatan negara, lalu siapa subyek yang mengancam NKRI? Mengapa harus merampas Partai Demokrat. Apa kaitan nalarnya antara "merampas" Partai Demokrat dengan keselamatan negara?
Itu jelas sebuah argumen yang jauh nalar dari etika politik. Tak hanya itu, jika "merampas" Partai Demokrat dikaitkan dengan keselamatan negara, maka pendapat Moeldoko ini harus dibuktikan secara hukum.
Sebab, jelas, pendapat tersebut, secara hukum sama dengan penilaian pribadi jika partai yang dibesarkan SBY itu merupakan "ancaman bagi negara". Ironisnya, jika pendapat perampasan Partai Demokrat demi keselamatan negara, tak dapat dibuktikan secara hukum.
Jika ingin menyelamatkan negara, sehurusnya Moeldoko memilih parpol yang jelas-jelas ada niat untuk "memeras" Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tak berani? Pensiunan Jenderal dan Panglima TNI koq tak berani "ambil-alih" parpol wong cilik itu.
Bukan kemuskilan, tim pengacara demokrasi yang dipimpin Bambang Widjojanto tersebut berkesempatan untuk melakukan gugatan hukum pada Moeldoko sebagai Ketum Demokrat versi KLB Deliserdang.
Atas ulah Moeldoko, DPP Partai Demokrat melalui tiga perwakilannya telah secara resmi melaporkan KSP Moeldoko ke Ombudsman RI pada Selasa (23/3/2021). Ketiganya adalah Taufiqurrahman, Ahmad Usmarwi, dan Parulian Gultom.
Tiga politikus ini telah menuding bahwa Moeldoko telah melakukan pelanggaran yang dapat dikualifikasikan sebagai maladministrasi.
Moeldoko diduga keras telah melanggar tugas, pokok, dan fungsi (Tupoksi) selaku KSP. Di mana seharusnya, KSP bertugas untuk menyelenggarakan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden perihal komunikasi politik.
Seperti disebutkan dalam Pasal 3 huruf g Perpres 83 Tahun 2019 tentang KSP bahwa KSP menyelenggarakan fungsi sebagai pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi.
Namun faktanya Moeldoko turut menghadiri dan menerima penunjukan selaku Ketua Umum dari pertemuan di Hotel The Hill Sibolangit yang secara sepihak dinyatakan atau diklaim oleh panitia dan peserta sebagai KLB Partai Demokrat.
Padahal, Moeldoko tidak pernah menjadi kader Partai Demokrat. Selain itu dia melalui siaran persnya telah membantah keterkaitannya dengan proses kudeta atau proses pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat.
Moedoko seperti dikutip Rmol.id juga sempat menyatakan bahwa dia tak tahu menahu sama sekali akan adanya kudeta atau pengambilalihan kepemimpinan di Partai Demokrat.
"Berdasarkan fakta itu, terbukti secara meyakinkan bahwa Moeldoko patut diduga keras telah melakukan kebohongan publik," urai Taufiqurrahman, Rabu (24/3/2021).
Sementara jika dikaitkan dengan tupoksi Moeldoko sebagai KSP, maka yang bersangkutan patut diduga keras telah melanggar tupoksi sebagai KSP karena melakukan kebohongan publik, bahkan dengan mengenakan atribut selaku KSP.
Moeldoko tak pernah melakukan komunikasi langsung dengan pimpinan Partai Demokrat yang sah secara hukum dan telah memperoleh pengesahan atau persetujuan sebagaimana di dalam SK Kemenkumham pada 18 Mei 2020 dan telah diterbitkan dalam berita negara.
Patut diduga keras juga bahwa komunikasi Moeldoko hanya dilakukan kepada pihak panitia dan penyelenggara pertemuan di Hotel The Hill Sibolangit yang sudah bukan kader Partai Demokrat. Artinya, Moeldoko diduga keras telah melakukan diskriminasi.
Bahkan, "Patut diduga keras Moeldoko tidak pernah melaporkan kegiatan politiknya kepada Presiden Jokowi sebagai atasannya," sambung Taufiq.
Singkatnya, Moeldoko itu diduga keras telah melanggar Perpres KSP, menyalahgunakan wewenang karena di saat jam kerja melakukan kegiatan politik di luar tupoksi KSP, dan melakukan kebohongan publik.
Moeldoko diduga telah melakukan komunikasi politik sepihak yang mengakibatkan keributan dan menimbulkan kerugian sangat besar bagi Partai Demokrat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H