Mohon tunggu...
Mochamad Toha
Mochamad Toha Mohon Tunggu... Jurnalis - Kini bekerja di Forum News Network

Jurnalis di Forum News Network. Jika ingin jadi teman, cukup tulis: toha.forum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Solusi Optimalisasi Industri Tebu Rakyat

30 Juli 2016   15:44 Diperbarui: 2 Agustus 2016   00:52 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Gula di Indonesia termasuk salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan setelah beras, jagung, dan kedelai. Fakta menunjukkan bahwa gula yang beredar di Indonesia ada dua jenis: Gula Kristal Putih (GKP) yang ditujukan untuk konsumsi rumah tangga atau masyarakat dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri makanan dan minuman.

Kebutuhan gula dalam negeri akhir-akhir ini juga tidak cukup dari produksi dalam negeri. Kondisi ini menunjukkan, Indonesia saat ini sudah menjadi negara netimpor. Untuk kebutuhan konsumsi gula nasional pada periode 2003-2007 saja, rata-rata sebesar 3,4 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri rata-rata hanya 2,1 juta ton, sehingga dilakukan impor.

Ini berbeda dengan Brazil, dari hasil produksi gulanya 31,3 juta pada 2008/2009, sekitar 70 persen ditujukan untuk ekspor. Produktivitas gula Indonesia relatif rendah dengan rendemen gula hanya sekitar 7-9 persen. Di Brazil, Australia, Thailand, dan Filipina rendemen gulanya bisa mencapai 12-14 persen.

Pada 2014, pemerintah mencanangkan swasembada gula dengan produksi GKP sebesar 2,95 juta ton dan GKR 2,74 juta ton. Meski sebelumnya pemerintah juga pernah menargetkan swasembada gula, namun kondisi tersebut belum tercapai sampai sekarang.

Perlu diketahui, luas areal tanaman tebu di Indonesia saat ini mencapai 441 ribu ha dengan kontribusi utama adalah Jawa Timur (45,07%), Jawa Tengah (12,66%), Jawa Barat (5,23%), dan Lampung (25,88%).

Untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri pada 2002-2007, pemerintah telah pula mencanangkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional. Namun, meski program ini telah berjalan, masalah gula nasional belum terselesaikan. Pada 2009 produksi gula baru mencapai 2,9 juta ton, produktivitas tebu 78 ton/ha, dan rendemen 6,54 persen.

Dengan capaian produksi gula ini, pada tahun yang sama Indonesia harus mengimpor gula sekitar 500 ribu ton untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Kinerja industri gula nasional yang kurang bagus ini bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain inefisiensi industri gula.

Industri berbasis tebu punya tempat tersendiri dalam konstelasi sejarah ekonomi-politik di tanah air. Masa kolonialisme Belanda, tebu adalah salah satu budidaya terpenting dalam Sistem Tanam Paksa. Industrialisasi tebu turut “menyelamatkan” keuangan Belanda. Tidak heran jika Indonesia (Hindia Belanda) saat itu juga disebut sebagai “gabus tempat mengapungnya negeri Belanda”.

Dulu, Indonesia adalah negara eksportir gula terbesar kedua di dunia. Jumlah pabrik gula tercatat mencapai 179 unit pada 1930, kini sisa 62 unit. Pada periode 1928-1931, produksi gula di Indonesia mencapai 3 juta ton per tahun, capaian produksi yang belum bisa disamai hingga sekarang. Namun, kini Indonesia adalah salah satu importer gula terbesar.

Negara-negara produsen utama gula saat ini seperti Brazil dan India, produksinya ketika itu kalah jauh dari Indonesia, yaitu hanya sebesar 1 juta ton dan 700 ribu ton. Adapun produksi Australia hanya 900 ribu ton, China dan Thailand masing-masing di bawah 500 ribu ton. Namun, negara-negara dulu yang kalah jauh dari Indonesia kini melejit.

Brazil produksinya sudah mencapai 36 juta ton (naik 4.000 persen) dibanding pada masa 1930-an. Produksi gula India mencapai 25 juta ton (naik 1.600 persen). China mencetak produksi gula 11 juta ton (naik 2.100%), Australia 5,5 juta ton (naik 500%), Thailand 5 juta ton (naik 900%).

Dilihat dari kondisi pergulaan nasional, industri gula nasional saat ini hanya didukung 62 PG yang aktif dengan 51 PG milik BUMN dan sisanya milik PG Swasta. Untuk kebutuhan gula nasional, misalnya, sebanyak 5.700.000 ton harus dipenuhi pada 2014. Kapasitas giling 62 PG eksisting adalah 205.000 TCD seharusnya menghasilkan 3 juta-3,5 juta ton per tahun.

Persoalan krusial yang sering dan selalu dihadapi dalam industri gula nasional antara lain menyangkut masalah rendemen yang masih dalam kisaran 7-9 persen saja. Produktivitas gula Indonesia relatif rendah, tidak seperti di Brazil, Australia, Thailand, dan Filipina dengan rendemen gulanya bisa mencapai 12-14 persen. Rendemen industri tebu Indonesia jelas sulit sekali bergerak naik.

Sudah sekian tahun produktivitas lahan yang ada juga tidak mengalami peningkatan berarti. Meski produksi tebu terus meningkat, tapi untuk data rendemennya dari waktu ke waktu selalu tetap. Industri gula sekarang ini statis pada tingkatan rendemen yang cuma 7-9 persen.

Upaya untuk meningkatkan kinerja industri guna nasional tentu bukan sebuah ikhtiar yang mudah. Berbagai tantangan harus dijaab oleh para pelaku industri padat kara ini untuk memenuhi kebutuhan guna nasional sebanyak 5.700.264 ton pada 2014 yang terdiri atas Gula Kristal Putih (GKP) konsumsi 2.956.259 ton dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) industri 2.744.005 ton.

Adapun kapasitas giling dari 62 PG yang ada di seluruh Indonesia mencapai 205.000 ton tebu per hari (TCD). Dengan asumsi 165 hari giling dan rendemen 8,5 persen, maka produksi yang bisa dihasilkan semestinya 2,96 juta ton gula per tahun. Seharusnya angka itu sudah mampu memenuhi kebutuhan GKP konsumsi, namun kini produksi GKP hanya kisaran 2,2-2,3 juta ton. Dengan demikian terdapat masalah inefisiensi yang harus diselesaikan.

Jika kita nanti hanya mengandalkan bicara masalah rendemen, itu adalah pada statis hanya antara 7-8 persen saja, ini menunjukkan bahwa di tingkat on-farm(lahan) itu tidak ada kemajuan yang spektakuler sehingga harus punya terobosan dan inovasi-inovasi baru. Bagaimana tetap mempertahankan dan meningkatkan pendapatan perusahaan.

Strategi EDO, yaitu Efisiensi, Diversifikasi, dan Optimalisasikapasitas giling merupakan salah satu solusi optimalisasi industri gula. Tiga langkah ini saling berkaitan dalam menunjang program revitalisasi industri padat karya itu. Harga gula juga tidak mungkin melonjak lebih tinggi lagi (tetap dalam kisaran Rp 15 ribu/kg), karena akan selalu diintervensi pemerintah. Industri gula bisa naik, tetapi tetap tidak bisa spektakuler.  

Efisiensi dari sisi off-farm harus dilakukan PT Perkebunan Nusantara dengan menyusun road map revitalisasi mesin pabrik dengan tiga sasaran utama, yaitu (1) mengurangi konsumsi bahan bakar dan energi, (2) mengatasi berbagai hambatan persemian, dan (3) mengurangi biaya pemeliharaan pabrik.

Terkait Diversifikasi, PTPN harus memahami bahwa menggarap produk turunan tebu sangat penting mengingat setiap batang tebu tidak hanya mengandung gula, tetapi juga berbagai macam jenis yang bisa dimanfaatkan seara ekonomis. PTPN harus bertekad untuk beyond sugar dan benar-benar bertransformasi menjadi industri berbasis tebu (sugarcane based industry)terintegrasi dari hulu ke hilir.

Dengan diversifikasi, PTPN bisa mengurangi risiko produksi dalam rangka pengusahaan tebu yang menyeluruh. Biaya produksi terus meningkat seiring dengan upah tenaga kerja dan ongkos tebang-angkut tebu yang naik. Sementara marjin dari penjualan gula tidak bisa dibuat setebal mungkin karena faktor daya beli konsumen.

Harga gula sendiri sekarang ini fluktuatif. Tetapi di sisi lain harga produk turunan lainnya cukup menjanjikan. Sehingga ke depan PTPN semakin fokus menggarap bisnis turunan tebu non-gula, antara lain, melalui pembangunan pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan PG-PG dan program co-generation dengan memproses ampas menjadi listrik.

Selain itu, PTPN bisa bekerja sama dengan pihak ketiga akan membangun pembangkit listrik tenaga biofuel untuk memasok listrik ke pabrik bioetanol dan pasar lainnya.

Adapun Optimalisasi kapasitas giling yang menjadi langkah kunci ketiga harus dilakukan untuk menggenjot produktivitas. Sejumlah langkah yang dilakukan adalah memacu rendemen dengan menekan suger losses melalui peningkatan kinerja ekstraksi gilingan dan efisiensi pemrosesan.

Selain itu, PTPN harus secara berkelanjutan terus menekan jam berhenti giling dengan memperlancar pasokan tebu dari lapangan ke pabrik dan menyiapkan peralatan pabrik dengan prima untuk menjamin kehandalan sampai akhir musim giling.

Industri berbasis tebu ini melibatkan sekitar satu juta petani dan jutaan warga lainnya mulai dari sopir angkutan tebu, karyawan PG, pekerja industri alat pertanian, dan sektor penunjang lainnya antara lain: makanan, industri karung kemasan, dan sebagainya.

Industri berbasis tebu adalah salah satu kekuatan ekonomi pedesaan yang harus didorong agar memberi multiplier effect optimal. Dampak sosial-ekonomi, terutama ke lingkungan pedesaan, menjadi pilar yang harus dijadikan sistem mutu dalam pengusahaan tebu.

Adanya permasalahan seperti lahan subur sudah terbatas, terpaksa PTPN harus ke luar dari Jawa seperti ke Pulau Madura. Karena lahan sawah di Jawa sudah bersaingan dengan padi dan perumahan. PTPN sekarang mulai beralih ke lahan tegal yang harus diikuti dengan inovasi teknologi tepat guna.

Ekstensifikasi lahan ini sangat penting karena penambahan produksi gula salah satunya sangat bergantung pada luasan lahan tebu. Apalagi, laju konversi lahan pertanian di Pulau Jawa, termasuk di Jatim yang menjadi basis PTPN, sangat tinggi. Dalam konteks ini, ekspansi lahan tebu ke Madura sungguh tepat.

Contohnya, pada musim tanam 2012/2013, PTPN X mengembangkan tebu di Madura pada lahan seluas 1.600 hektar. Pada MT 2013/2014, areal lahan akan dikembangkan menjadi 4.000 hektar. Dengan feasibility study yang telah dimulai sejak 2012, PTPN X berencana membangun PG terintegrasi di Madura.  

Pihak PTPN X juga terus menambah luas areal tanam hingga ke daerah Kabupaten Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro. Upaya perluasan tersebut dilakukan untuk memastikan kontinuitas penambahan produksi demi mendukung upaya swasembada gula.

PTPN X juga mendapat penugasan dari Kementerian BUMN untuk mengembangan dan menggarap PG Makassar di Takalar, Bone, dan Camming, Sulawesi Selatan. PTPN X telah membentuk gugus tugas atau task force untuk menangani pengelolaan PG tersebut. Pada 2014 ketiga parik gula itu sudah bisa running well untuk menunjang kebutuhan pergulaan, khususnya di kawasan Indonesia Timur.

Ada dua masalah bidang On Farmdan Off Farm terkait industri tebu rakyat. Masalah di bidang On Farm terutama adanya keterbatasan pengetahuan dan permodalan petani dalam bongkar ratoondan rawat ratoon. Penyediaan agro input budidaya tebu tidak memadai. Sarana irigasi terbatas, terutama pada wilayah pengembangan.

Kelangkaan tenaga kerja sektor budidaya. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis. Komitmen memajukan industri gula juga sekaligus menunjukkan komitmen peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Di sini diperlukan strategi terpadu untuk membangun kembali kejayaan industri berbasis tebu di Indonesia.

Permasalahan di bidang Off Farm. Permesinan di PG yang relatif tua dengan teknologi using. Tingkat efisiensi PG yang berada di bawah standar. Kualitas gula rendah (ICUMSa > 150). Biaya produksi relatif tinggi dan tidak bersaing. Tidak optimalnya kapasitas giling. Diversifikasi produk turunan tebu non-gula tidak digarap secara optimal, sehingga PG tidak mampu meningkatkan daya saing.

Di sinilah diperlukan adanya perubahan paradigma. Bahwa swasembada gula itu jangan hanya dikerangkai dalam konteks pemenuhan produksi gula saja. Ini bukan hanya soal angka-angka produksi gula atau peningkatan rendemen semata, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana kita membangun sebuah industri berbasis tebu (sugarcane based industry) yang kompleks dan terintegrasi.

Tanpa mulai membangun industri berbasis tebu dengan tidak hanya fokus ke pendekatan produksi gula, sesungguhnya kita hanya sedang membawa industri ini jalan di tempat, karena tidak ada nilai tambah yang berarti. Kita tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang besar jika tidak mempunyai pikiran yang besar.

Untuk mencari pemecahan permasalahan dalam bisnis berbasis tebu setidaknya kita harus tetap mengacu pada EDO (Efisiensi, Diversifikasi, Optimalisasi). Efisiensimeliputi: Parameter secara luas; Produktivitas lahan; Kandungan gula di dalam tanaman tebu; Rendemen; Konsumsi energi; Nilai tambah produk; Produktivitas tenaga kerja; Biaya maintenance; Jam berhenti; Konsumsi air.

Optimalisasi.Kapasitas giling dari 62 PG yang ada di seluruh Indonesia mencapai 205.000 ton tebu per hari (TCD). Dengan asumsi 170 hari giling dan rendemen 9 persen, maka produksi yang bisa dihasilkan seharusnya meningkat.

Diversifikasi: Cogeneration. Cogeneration yang mengolah ampas tebu menjadi listrik kali pertama muncul di Mauritius dan Hawaii. Pada 1926/1927, 26 persen pembangkitan listrik di Mauritius dan 10 persen di Hawaii berasal dari pabrik gula (WADE, 204).

Berkaca pada sejumlah proyek di Brazil dan Thailand, investasi yang dikucurkan dalam proyek cogeneration bisa kembali melalui pendapatan dari penjualan listrik dalam periode tidak lebih dari 5 tahun (ISO, 2009). Skema Pay Back PeriodProgram Cogeneration di PG Ngadirejo. Nilai investasi yang dikeluarkan Rp 310,40 miliar = 3 tahun. Perkiraan Nilai Jual Listrik Rp 104,89 miliar/tahun.

Diversifikasi: Etanol. Ethanol dengan bahan baku tetes tebu. Formulasi sederhananya adalah setiap 1 ton tebu dengan proses sedemikian rupa dari tetes tebu (molasses) akan bisa menghasilkan 12 liter etanol. Dengan demikian, untuk 6,5 juta ton tebu yang digiling akan bisa menghasilkan 78 juta liter etanol atau ekuivalen dengan 78.000 kiloliter (KL). Dengan asumsi harga Rp 8.000 per liter, maka potensi pendapatan yang bisa diraup mencapai Rp 624 miliar.

Diversifikasi: Biokompos. Biokompos yang terbuat dari pengolahan limbah padat berupa abu atau blothong. Potensi bisnis biokompos ini cukup besar. Dengan asumsi setiap satu ton tebu bisa menghasilkan 40 kilogram biokompos, maka dari 65 juta ton tebu yang digiling akan diproduksi 260 juta biokompos atau 260.000 ton. Potensi pendapatan dari bisnis ini mencapai Rp 52 miliar.

Listrik dari tenaga biofuel hasil pengolahan dari limbah bioetanol. Dari penghitungan sederhana bisnis ini, ada potensi listrik yang bisa dijual sebesar 37.440 MWH. Dengan asumsi harga jual adalah Rp 1.000 per kwh, maka potensi pendapatan yang bisa diraup adalah Rp 374 miliar.

Ke depan, industri tebu juga harus melirik diversifikasi bisnis, terutama di sektor energi terbarukan. Diversifikasi hanya bisa dilakukan jika efisiensi dan optimalisasi di sektor on-farm dan off-farm tercapai.

Selain bisa menghasilkan gula secara optimal, di industri berbasis tebu modern, setiap 1 ton tebu berpotensi memproduksi listrik 100 kw bersumber dari ampas tebu; 2 liter bioetanol dari tetes tebu, 40 kilogram biokompos dari limbah adat. Limbah bioetanol juga bisa diolah menjadi listrik.

Potensi pendapatan dari diversifikasi (bioetanol listrik, biokompos) mencapai Rp 1,7 triliun. Pay-back period-nya 3-5 tahun. Potensi pendapatan ini bisa dikelola untuk ekspansi on-farmdan off-farm, sehingga dengan sendirinya bisa memacu produksi gula sebagai komoditas penting bagi masyarakat. Diversifikasi juga dilakukan untuk mengantisipasi berfluktuasinya harga gula, sehingga profitabilitas perusahaan tetap terjaga dengan baik.@

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun