Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sorot Mata

20 Agustus 2024   07:17 Diperbarui: 20 Agustus 2024   07:18 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah pensiun, aku langsung pulang kampung.  Seperti apa yang sudah aku impikan begitu lama.  Hidup di kota membuat hati tak pernah tenteram.  Setiap detik seakan berlari-lari dengan aneka ketakutan.

Setiap pukul 3 aku sudah bangun. Setiap hari. Mencoba menemui-Mu.  Tapi hati tak sepenuhnya menemui-Mu.  Ada saja pikiran yang mendesak-desakan diri.  Soal ulangan yang belum selesai.  Anak yang terlibat tawuran.  Orang tua yang protes karena anaknya disuruh menegrjakan PR banyak.  Selalu saja ada yang mengganggu kita.

Sebuah toko buku sudah aku bangun di kampung.  Tak mungkin juga untuk menjadi petani.  Tenaga sudah hampir lenyap.  Tinggal sisa-sisa belaka.  Akhirnya, aku putuskan untuk membuat toko buku saja.  Kecil tidak apa-apa.  Yang penting bisa untuk mengisi aktivitas.

Ya, aku memang tidak menikah.  Keputusan yang banyak ditentang oleh keluargaku sendiri.  Tapi biarlah.  Anak-anakku toh sudah ribuan walaupun tidak punya istri.  Aku seorang guru jadi setiap tahun akan datang anak-anak muridku  bergantian.  mereka selalu mengisi hari-hariku juga.

"Sudah buka, Wak?" tanya seorang anak muda yang entah mau ke mana.  Di kampung sekarang banyak anak muda yang tak jelas kehidupannya.  Tidak mau menjadi petani, tapi juga tak bisa kerja yang lain.  Akhirnya mereka hanya bergantung pada orang tuanya.  Kalau orang tuanya berpunya masih mending, kasihan jika orang tuanya juga orang yang tidak berpunya.  

Mereka menebar mimpi kosong.  Mereka aku lihat sering bergerombol main judi.  Entah uang dari mana.  Ada selentingan bahwa anak-anak muda kampung sudah banyak yang terjerat oleh pinjol karena kalah main judi online.  Bahkan ada yang harus menjual kebun orang tuanya.

"Iya," jawabku sambil tersenyum.  

Tak seberapa yang belanja buku atau alat tulis di kampung.  Sehingga, aku lebih banyak bengong.  Kadang membaca berita yang lebih sering bikin hati kesel.  Sebentar lagi pilkada serentak, dan semua politikus sudah ramai dengan siasat busuknya.  Seakan berlomba menjadi paling busuk.  Karena dengan menjadi paling busuk itulah jalan menuju kemenangan.  Segala cara ditempuhnya.  Etika sudah terlalu lama dikubur oleh mereka.

"Mau dibawa ke mana negeri ini?"

Sebagai pensiunan guru, aku terkadang merasa gagal juga.  Terutama dalam mendidik moral murid-muridku.  Dulu, setiap nilai kehidupan yang diajarkan guruku, selalu menjadi panduan hidupku.  Anak-anak muridku kadang hanya butuh ilmu belaka.  Mengejar angka ujian tinggi agar dapat menenruskan di sekolah yang bagus dan kemudian dapat bekerja di tempat yang bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun