Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga Matahari di Tepi Cacaban

18 Agustus 2024   13:16 Diperbarui: 18 Agustus 2024   13:17 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nina berjalan di antara semak yang mulai mengering karena kemarau masih belum mau beranjak pergi. Kakinya kadang terasa perih karena terkena perdu yang mulai kuning. 

Air mata Nina belum juga reda.  Hatinya masih terasa perih mengingat peristiwa tadi pagi. Di rumah sendiri. Di kamar yang selama ini ia kagumi. 

Rumah Nina tidak jauh dari danau Cacaban.  Tapi tak bisa juga dibilang dekat. Kalau naik motor paling 5 menit. Namun, jika harus berjalan kaki, bisa sampai satu jam.

"Biarkan saja," kata Maria. 

Mendengar saran Maria, Nina semakin jengkel.  Pengen banget Nina menampar mulut Maria yang menganggap peristiwa itu cuma peristiwa biasa. 

Nina melihat bunga matahari itu bermekaran.  Ada 9 pohon bunga matahari yang berjajar rapi.  Nina mencoba  memegang salah satu kelopak bunga matahari itu. 

"Kamu bisa datang ke sini, Nina," kata kelopak bunga matahari yang nyaris dipegang nya itu.

Nina spontan menarik tangannya.  Bunga matahari itu bisa bicara.  Tapi, masa iya?

Nina mencoba mengulurkan tangannya lagi ke arah kelopak bunga matahari itu.

"Aku menunggumu sejak lama," kembali suara bunga matahari itu terdengar. 

Nina memperhatikan sekitar.  Nina yakin  dia sedang berada di samping danau Cacaban.  Nina mengenal pohon rindu yang tumbuh tak jauh dari bunga matahari yang tumbuh berjajar rapi tersebut. 

Ketika bangun Nina kaget. 

Tak ada lagi suaminya.  Biasanya Nina yang bangun lebih dulu. Setelah solat Subuh,  Nina mempersiapkan semua keperluan suaminya. 

Ketika Nina keluar kamar dilihatnya Sulaeman sedang duduk sambil merokok di bangku dekat dapur. Entah kenapa,  wajah Sulaeman tampak merah. 

Dan untuk kesekian kalinya peristiwa itu terjadi.  Nina tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. 

Kemudian Nina pergi ke tepi Cacaban.  Mencari bunga matahari yang seperti dilihat dalam mimpinya.  Hanya itu pilihan jalan satu satunya. 

Kaki Nina berdarah.  Mungkin baru tajam yang ada di jalan setapak itu yang membuat kaki Nina berdarah. 

Belum juga Nina menemukan bunga matahari itu. Apa karena masih terlalu pagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun