Setelah bapak meninggal, Â aku hanya berdua sama ibu tinggal di rumah itu. Â Rumah warisan nenek karena bapak anak tunggal.Â
Ibu menjadi penjahit baju di kampung. Â Selain, ibu ada penjahit satu lagi di kampung itu. Tapi, secara alami berbagi jahitan. Â Ibu khusus menjahit baju atau apa pun yang berkaitan ibu-ibu. Sedang penjahit satunya lagi, kebetulan seorang laki-laki, Â menjahit apa pun yang berkaitan dengan kaum adam.Â
Walaupun aku hidup serumah dengan ibu tapi seingat aku, aku belum pernah  tidur sekamar dengan ibu. Kami tidur di kamar berbeda. Â
"Ini baju batik untuk kamu," kata Ibu setiap menjahitkan baju batik.Â
Ibu selalu memberiku baju batik. Katanya, karena kita orang Jawa. Â Jadi, di lemari bajuku tak ada baju selain batik.
"Kamu teruskan sekolahmu di kota ya," kata Ibu seusai aku lulus SMP. Di kampung ku waktu itu belum ada SMA. Â Siapa pun yang mau meneruskan sekolah setamat SMPN harus ngekos di kota kabupaten.Â
"Inggih, Bu. "
Aku tak pernah menjawab selain kata itu. Aku tak tega jika ada guratan sekecil apa pun jika itu sebuah cermin kekecewaan di wajah ibu.
Termasuk bertanya. Â Aku tak pernah bertanya tentang apa pun pada ibu. Meskipun ada rasa penasaran dalam hatiku.Â
Baru dalam tulisan ini rasa penasaran itu aku ceritakan. Â Karena Ibu juga sudah tak mungkin kecewa lagi.Â