Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Pendakian Terakhir

5 Januari 2024   14:53 Diperbarui: 5 Januari 2024   15:24 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Gak seru!" kata Sairin ketika Fahmi usul untuk pergi ke Guci. 

Dan setelah berdebat keras, akhirnya kami sepakat untuk naik gunung Slamet.  Dan kami putuskan juga melalui jalur baru.  Sebuah kenekatan yang lumayan dari 5 anak Aliyah. 

Kami naik kereta untuk sampai di desa paling Ujung.  Kalau tidak salah,  namanya Desa Clekatakan. 

Orang orang desa tidak mencurigai kami mau naik gunung karena,  desa itu bukan desa yang menjadi jalur pendakian.  Kami juga menemukan desa itu asal nemu saja. 

"Mau ke mana, Nak?" tanya seorang  kakek yang mungkin baru pulang dari kebun.

"Jalan jalan, kek," jawab  Warto. 

"Hati-hati,  sudah banyak yang tidak bisa kembali. "

"Baik, kek."

Karena bukan jalur umum,  kami menyusuri aliran sungai.  Sampai kemudian terlihat mendung yang cukup tebal.  Sepertinya masih di pinggiran hutan. 

"Ada dangau, "kata Fahmi sambil menunjuk gubuk yang tak jauh dari sungai. 

"Kita menginap di sana saja."

Tanpa  banyak perdebatan,  kami semua setuju untuk menginap di dangau tersebut.  Lebih praktis daripada  mendirikan tenda. 

"Sepertinya sering ada yang ke sini," kata Sairin. 

"Iya, bersih."

Hujan pun turun dengan lebatnya.  Malam juga membersamainya.  Beberapa kali petir saling sahut.

"Ngopi?"

"Ide yang bagus."

"Masih punya rokok?"

"Ada."

Aku sendiri tak sadar.  Karena tak begitu lama sampai di dangau tersebut,  aku langsung mengantuk sekali. 

Dan ketika aku terbangun,  empat temanku yg sudah pulas tertidur. 

Pada awalnya aku tak begitu percaya. Tapi bayangan itu semakin membesar.  Mendekati ku. Dan terdengar begitu jelas dengus nafasnya. 

Ingin sekali aku berteriak.  Mulutku saja yang membangkang. Tak ada suara yang mampu dihasilkan.  Semakin aku berusaha untuk mengeraskan suara, hanya tenggorokanku ku yang sakit sekali. 

Bayangan hitam itu tepat berada di atas ku. Kulihat bulu di tubuhnya sangat lebat.  Dan matanya memerah. 

Salah satu kakinya menginjak perutku.  Aku sama sekali tak bisa nafas. 

"Mungkin ini saatnya kematianku, " pikirku. 

Beberapa menit dia berdiri di atas perutku.  Bukan hanya berdiri,  tapi malah loncat loncat.  

"Seandainya aku bisa meraih parang yang ada dalam tasku,  pasti sudah kutebas kakinya. "

Kulihat dia menyeringai. Giginya begitu besar. 

"Pulang saja."

"Iya. Kamu juga tahu?"

"Bukan hanya tahu, tapi melihat. "

"Melihatapa?"

"Bayangan besar. "

"Aku juga."

"Aku juga."

Sejak saat itu, tak ada lagi mimpi secuil pun untuk kembali mendaki gunung.  Apalagi lewat jalur aneh aneh. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun