Saat baru diangkat menjadi kepala sekolah, Â ada pesan masuk dari teman yang sudah lebih dulu menjadi kepala sekolah. Â Hati-hati, Â Mas, biasanya akan datang wartawan bodrek ke sekolah.Â
Pertama, Â mereka akan menanyakan anggaran sekolah. Â Pokoknya lagaknya seperti seorang pemeriksa keuangan negara yang mencari koruptor di negeri ini yang menyusup ke sekolah.Â
Kedua, Â mereka akan memainkan ancaman ancaman. Â Misalnya saja, mereka mengancam akan melaporkan ke kejaksaan, Â ke kepolisian, Â atau ke pengadilan keterbukaan informasi publik.
Ketiga, mereka juga biasanya  menawari pemuatan kegiatan positif sekolah  di koran atau majalah yang dibawanya.  Mereka menjanjikan full halaman depan tabloid mereka,  di tengah, atau halaman belakang.  Kemudian mereka memberikan harga pemuatan yang selangit.Â
Keempat, Â mereka mengancam akan memuat keburukan sekolah kita, bahkan keburukan yang cuma ada di imajinasi mereka. Â Bagaimana tidak imajinatif kalau keburukan itu cuma dilandasi hitung hitungan khayali belaka?
Dan ternyata benar adanya. Belum genap satu bulan menjadi kepala sekolah sudah ada proposal datang yang berisi pertanyaan pertanyaan aneh.
Proposal itu saya pegang. Dan saya sampaikan agar jika nanti orangnya datang, langsung antar ke ruang saya.
Mereka datang juga. Â Berdua. Dengan wajah yang seperti nya dibuat sesangar mungkin.
Apa yang dikatakan teman pun benar adanya. Mereka menanyakan anggaran. Â Mereka mengancam akan membawa ke pengadilan informasi publik, saat saya menolak menjawabnya.Â
Dan ketika mereka menunjukkan  tulisan tulisan yang mereka tulis di web online mereka,  saya tunjukkan tulisan tulisan saya di Kompasiana. Saya tunjukkan kalau saya sudah bercentang biru juga. Tulisanku sudah lebih dari 3000.