Hari ini, dia tampak begitu kusut. Matanya menatap entah ke mana. Beberapa kali dia tendang mejanya.
Padahal, sebelumnya dia adalah anak yang ceria. Guru-guru bilang manusia paling bawel di kelasnya. Bukan hanya pada temannya, gurunya juga sering dicereweti.
Tipe remaja yang optimis. Â Selalu mendapatkan nilai terbaik. Selalu berupaya menjadi bisa dan mengerti. Sebelum itu, ia akan terus berupaya, berupaya, dan berupaya.
Guru-guru senang melihat wajah manisnya ketika menyambut di pintu gerbang sekolah. Datang termasuk yang paling pagi. Masuk pukul 06.30 tapi sudah di sekolah pada saat jarum jam baru saja menunjuk angka 06.00.
Jika ada lomba, selalu teringat dia untuk menjadi perwakilan sekolah. Dan beberapa kali mampu menembus ke tingkat kota.Â
Tapi dia tidak suka OSIS. Iya ikut PMR. Katanya pengen bantu orang kalau besar nanti. Dokter yang baik hati, katanya.
Tapi, sekali lagi aku ini (sekitar 3 tahun lalu), ia justru duduk dalam tatapan mata yang menikam. Seakan menyimpan bara begitu buncah.
Ada apa?
Ternyata dia belum siap mendengar perceraian ayah dan bundanya. Ia marah pada ayah, bunda, dan dirinya.
Bukan hanya itu, karena ternyata dia marah pada semua. Â Dia merasa tak perlu lagi semuanya. Tak perlu.
Itulah dampak yang harus dipikul oleh manusia kecil berwajah manis. Â Beban berat karena perceraian orang tua nya. Tunas yang bisa begitu layu, kering, bahkan mati sebelum berkembang.
Kadang ego terlalu besar untuk sekadar memahami. Kadang orang tua merasa paling bisa melihat segalanya. Tanpa peduli pada kemungkinan retaknya hati mungil di sampingnya.
Mudah mudahan ini menjadi pengingat, bahwa ada yang perlu dirawat dan samping hidup kita sendiri. Ada harapan yang tak boleh pudar, apalagi hilang. Sebuah kehidupan yang Tuhan titipkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H