Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Makan Malam Penghabisan

24 Oktober 2022   14:44 Diperbarui: 24 Oktober 2022   15:05 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore agak sedikit mendung. Sengaja pulang cepat karena takut terjebak banjir seperti minggu kemarin. Akhirnya harus pulang larut. 

"Ada telpon, Mas, " kata istriku. 

"Dari siapa? "

"Om Darman. "

Ternyata Om Darman menyuruh aku dan istriku ke rumahnya. Makan malam di rumahnya. Katanya istrinya sudah memasak untuk makan malam bersama. 

Ketika aku tanya siapa saja yang diundang makan malam, Om Darmo bilang bahwa hanya aku dan istriku saja yang diundang. 

Akhirnya, malam itu aku dan istriku datang ke rumah Om Darmo di Cibubur. Karena takut hujan, akhirnya kami pergi menggunakan mobil. Hanya saja, berakibat pada terjebak macet. 

Rumah Om Darmo tampak sepi. Sejak pensiun, mereka memang hanya tinggal berdua. Om Darmo tak memiliki keturunan. Sebetulnya, punya juga sih, tapi selalu meninggal saat baru beberapa hari menghirup udara di dunia nyata ini. 

"Kamu tahu sendiri, sebentar lagi kami berdua akan mati. Untuk apa semua hartaku ini? Kamulah satu satunya keponakan ku yang pantas untuk menerima semua ini, " jelas Om Darmo setelah makan malam usai. 

Kami memang masih duduk di meja makan. Menikmati buah buahan sebagai hidangan penutup. 

Beberapa kali kaki istriku menendang kakiku. 

"Mau kan? "

Om Darmo seakan terus mendesak agar aku mau menerima warisan hartanya yang melimpah ruah tersebut.

"Saya coba bilang ibu... "

"Ibumu pasti setuju. Ibumu juga aku yang menyekolahkan nya kan? Masa iya mau melawan ku juga? "

Dan tendangan kaki istriku benar benar kencang. Nyaris aku berteriak. 

"Saya pikir.... "

"Istrimu juga setuju kan? Siapa namamu? Ratih. Setuju kan  Ratih? "

Aku membayangkan anak anakku dibawa pergi oleh makhluk hitam besar itu. Aku membayangkan hari tuaku yang akan sepi sendiri seperti Om Darmo saat ini. 

Aku tarik tangan istriku. Aku pergi dari ruang makan itu. Dan ketika di pojok ruangan ada makhluk hitam besar dengan mata yang memelototiku, ingin rasanya kutonjok mukanya itu. 

Aku masih waras! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun