Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jilbab Intoleran

4 Agustus 2022   14:30 Diperbarui: 4 Agustus 2022   14:41 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokakarya Oleh Yayasan Cahaya Guru

Saya dan beberapa guru baru menyadari bagaimana jalannya demokrasi di negeri ini ketika mengikuti kegiatan lokakarya yang diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG) yang bertempat di Salihara. 

Kami bersama sama menyaksikan film tentang kehidupan orang orang Marapu dan para penganut kepercayaan Perjalanan. Ternyata kehidupan mereka selama menderita karena mereka dipaksa untuk menjadi orang lain. 

Sering terjadi salah paham bahwa di negeri ini hanya ada 6 agama resmi. Sehingga aliran kepercayaan pun dianggap bukan agama dan tidak boleh ada. Pada era Orde Baru mereka dipaksa untuk menjadi pemeluk salah satu dari 6 itu. 

Bahkan ada yang harus di Komunis kan karena dianggap tak beragama, dengan pengertian agama oleh si penguasa. Mereka tidak bisa mengekspresikan apa yang menjadi kepercayaan atau imannya. 

Di sebuah SMA negeri di Jogya, juga viral pemaksaan pemakaian jilbab terhadap seorang siswi. Pemaksaan tersebut bahkan sampai membuat siswi tersebut depresi. 

Menunjukkan bahwa di sekolah masih ada masalah dalam berdemokrasi. Pemaksaan jilbab di sebuah SMA bahkan bisa jadi hanya puncak gunung es belaka. Masih banyak persoalan yang masih terpendam. 

Seharusnya sekolah menjadi tempat terbaik untuk bersemainya demokrasi. Semua pihak dapat kesempatan sama. Tak ada pemaksaan apa pun. 

Bukan hanya pemaksaan pemakaian jilbab, tapi juga tak ada lagi pemaksaan pembelajaran agama tertentu. Sekolah seharusnya menyediakan pembelajaran untuk mereka yang seperti penganut Marapu dan Perjalanan. 

Bersama teman-teman guru, kami bukan hanya diajak mendiskusikan nasib penganut Marapu dan Perjalanan. Kami juga diajak untuk merasakan nasib mereka di negeri ini melalui sebuah permainan simulatif. 

Kami disertakan menjadi mereka, yang liyan, yang terabaikan. Sehingga kami semakin menyadari jika selama ini sebagai guru kurang menyadari, apalagi berempati terhadap orang orang yang sering anggap belum menjadi kita. 

Politik identitas yang didengungkan oleh kaum intoleran HTI dan FPI juga kami diskusikan dalam lokakarya tersebut. Bagaimana kebebasan berekspresi mereka telah membuat pihak lain kehilangan kebebasan karena ancaman. 

Kami diajak merenung dampak politik identitas pada masa depan negeri ini. Dan Indonesia memang belum selesai menjadi. Kami harus terus telaten untuk ikut merawat nya.

Jilbab bisa juga menjadi petunjuk bahwa toleransi dan demokrasi di sekolah dan negeri ini memang masih bermasalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun