Entah kenapa hari hari terakhir ini biniku senewen sendiri. Asli, bukan bikinanku. Tadi pagi pagi udah ngomelin aku. Padahal lagi pengin manjangin tidur. Mumpung hari minggu.Â
"Ayah! " teriaknya.Â
Aku diemin aja. Pura-pura pules.Â
"Ayah. Jangan pura-pura ya? Ngoroklu yang asli beda, gak gitu bunyinya. "
Terpaksa ngalah. Ternyata tipe ngorokku udah diidentifikasi juga.Â
"Ada apa? "
"Minyak goreng. Belum ada juga. "
"Belinya di pasar dong, Bun. "
"Ini dari pasar! "
"Mungkin masih dalam perjalanan. "
"Apaan. Tuh, di koran malah diberitakan ada penimbunan di Sumut. "
"Nimbun minyak kok di sumur? "
"Bukan sumur, sumut. "
"Cuma masalah waktu saja. Bentar lagi juga lancar. "
Terdengar biniku mulai nyiapin masakan buat minggu pagi. Dan mataku mulai berat lagi.Â
"Tempe nya direbus aja, ya? "
Aku tak jawab.Â
"He, malah tidur lagi. Bagaimana nih masalah minyak goreng. Bikin pusing aja. Ayah kan suka nulis. Tulis dong. "
"Nanti, Bun. "
"Kayaknya lagi pada numpuk duit buat pemilu presiden nih. Masa caranya begini? Buat apa tuh Kalimantan sama Papua ditanamin kelapa sawit? "
Terpaksa aku bangun.Â
"Mau ke mana? '
" Mau nyari ide buat nulis. "
Akhirnya, aku ngeloyor pergi ke warung kopi dekat perempatan. Paling tidak, untuk sementara dapat selamat dari persoalan minyak goreng.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H