Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mampir

4 November 2021   05:12 Diperbarui: 4 November 2021   05:13 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berkali-kali dia pengen aku mampir ke rumahnya, tapi aku selalu menolak. Entah kebetulan atau memang kenapa, setiap kali ketemu dia, aku memang sedang dalam perjalanan untuk keperluan yang mendesak. 

"Mampir? "

Kali ini aku tak berkutik. Tak ada keperluan mendesak yang bisa dijadikan alasan. Dan aku tak mungkin berbohong. Dia pasti akan tahu dari wajahku sendiri jika aku berbohong. 

"Mmmmm."

"Ayo! "

Tanganku ditariknya.  Sehingga tak mungkin aku berkelit lagi. Lagian tak apalah sekali sekali. 

Mungkin kamu belum tahu orang yang kusebut dia itu. Teman sekolah. Dari SD hingga SMP aku dan dia selalu duduk sebangku. Perasaan sudah klop kalo ngobrol dengan dia. 

Setamat SMP dia tidak meneruskan sekolah. Hanya ada SMA di kota. Dan biayanya memang cukup mahal karena harus kos segala. 

Dia anak seorang dukun kampung. Bapaknya selalu berhasil menyembuhkan penyakit orang orang kampung yang masih takut kalau harus ketemu dokter. Apalagi kalau ketemu jarum suntiknya. 

Setelah SMP dan tak sekolah lagi, dia ini kemudian disuruh meneruskan usaha bapaknya. Menjadi dukun. 

Hampir mirip dengan bapaknya yang berhasil dalam dunia perdukunan. Dia juga berhasil, bahkan lebih berhasil dari bapaknya. Hanya saja, dalam hal negatif. 

Dia buka layanan santet, pesugihan, dan untuk para politisi yang berebut kursi. Sehingga tidak terlalu dekat dengan warga kampung. 

Kata kakakku, tamu dia semuanya dari kota. Tak ada yang jalan kaki semuanya naik mobil. Dan bukan mobil sejuta umat, tentunya. 

"Duduk. Mau ngopi? "

Aku hanya mengangguk. Karena saat hendak duduk, aku melihat sebuah foto yang sangat aku kenali wajahnya. 

"Kok ada foto istriku di sini? "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun