Sudah berkali-kali dia pengen aku mampir ke rumahnya, tapi aku selalu menolak. Entah kebetulan atau memang kenapa, setiap kali ketemu dia, aku memang sedang dalam perjalanan untuk keperluan yang mendesak.Â
"Mampir? "
Kali ini aku tak berkutik. Tak ada keperluan mendesak yang bisa dijadikan alasan. Dan aku tak mungkin berbohong. Dia pasti akan tahu dari wajahku sendiri jika aku berbohong.Â
"Mmmmm."
"Ayo! "
Tanganku ditariknya. Â Sehingga tak mungkin aku berkelit lagi. Lagian tak apalah sekali sekali.Â
Mungkin kamu belum tahu orang yang kusebut dia itu. Teman sekolah. Dari SD hingga SMP aku dan dia selalu duduk sebangku. Perasaan sudah klop kalo ngobrol dengan dia.Â
Setamat SMP dia tidak meneruskan sekolah. Hanya ada SMA di kota. Dan biayanya memang cukup mahal karena harus kos segala.Â
Dia anak seorang dukun kampung. Bapaknya selalu berhasil menyembuhkan penyakit orang orang kampung yang masih takut kalau harus ketemu dokter. Apalagi kalau ketemu jarum suntiknya.Â
Setelah SMP dan tak sekolah lagi, dia ini kemudian disuruh meneruskan usaha bapaknya. Menjadi dukun.Â
Hampir mirip dengan bapaknya yang berhasil dalam dunia perdukunan. Dia juga berhasil, bahkan lebih berhasil dari bapaknya. Hanya saja, dalam hal negatif.Â
Dia buka layanan santet, pesugihan, dan untuk para politisi yang berebut kursi. Sehingga tidak terlalu dekat dengan warga kampung.Â
Kata kakakku, tamu dia semuanya dari kota. Tak ada yang jalan kaki semuanya naik mobil. Dan bukan mobil sejuta umat, tentunya.Â
"Duduk. Mau ngopi? "
Aku hanya mengangguk. Karena saat hendak duduk, aku melihat sebuah foto yang sangat aku kenali wajahnya.Â
"Kok ada foto istriku di sini? "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H