Tak ada yang bisa menandingi Puan di PDIP. Untuk saat ini, hanya Puan yang bisa membuat warna di PDIP. Termasuk siapa yang akan diusung menjadi calon presiden atau wakil presiden.Â
Akan tetapi, seorang presiden atau wakil presiden tidak dipilih oleh partai. Partai cuma bisa mencalonkan. Rakyat yang memilihnya.Â
Pemilih PDIP sendiri kisarannya cuma 20 persen. Â Masih kurang 31 persen untuk bisa melenggang ke Medan Merdeka Utara. Sesuatu yang sangat berat.Â
Karena presiden dipilih rakyat, maka mau tak mau, bisa tak bisa, partai harus memperhatikan kehendak rakyat. Ke arah mana rakyat hendak berlabuh?Â
Persoalan berikutnya, ada Ganjar Pranowo di PDIP. Memang bukan lawan tanding memadahi untuk melawan Puan di PDIP. Terlalu mudah menyingkirkan seorang Ganjar yang cuma kader biasa. Terlalu mudah.Â
Namun, Ganjar Pranowo semakin hari semakin cemerlang saja. Bahkan survei terakhir yang disiarkan oleh Kompas, Ganjar sudah menantang Prabowo di posisi atas klasemen sementara pilpres 2024.
Dan Ganjar yang kader PDIP, walaupun kader biasa, akan semakin menjulang jika didukung oleh PDIP pada pencalonan 2024 nanti. Jika PDIP mengabaikan itu, bukan Ganjar yang rugi. PDIP lah yang akan paling merugi. Kalah pilpres juga kalah pileg.Â
Di sinilah para pendukung Puan mendapatkan dilema paling mematikan. Dalam setiap survei, posisi Puan selalu menempati posisi juru kunci. Bagaimana bisa merembet naik jika waktu cuma tinggal dua tahun persiapan?Â
Hanya saja, sepertinya Puan masih akan terus bertahan. Tentunya sambil menunggu keajaiban. Tapi, siapa bisa mengatur keajaiban?Â
Oleh karena itu, PDIP harus berpikir realistis. Walaupun PDIP selalu identik dengan keluarga Soekarno, tapi ketika untuk pencalonan presiden ada yang lebih baik maka harus digeser haluannya.Â
Memang, dalam PDI-P sendiri akan terjadi krisis. Terutama setelah pensiunnya Mbak Mega. Bisa jadi, tanpa ada Mbak Mega, Puan akan dianggap bukan siapa-siapa.Â
Memang partai politik bukan milik keluarga. Partai politik harus mendemokratiskan dirinya sendiri, sebelum mendemokratiskan negara. Tak mungkin negara menjadi demokratis jika partai masih dikangkangi sebuah keluarga.Â
Tak perlu raja di negeri yang demokratis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H