Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebaiknya Presiden Dipilih MPR Saja

15 September 2021   07:04 Diperbarui: 15 September 2021   07:09 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa iya, orang yang sudah profesor politik sama suaranya dengan mereka yang sama sekali buta politik? 

Bukan itu saja persoalan yang muncul ketika seorang presiden dipilih secara langsung. Banyak sekali persoalan yang malah menjadi semakin runyam. 

Keterbelahan bangsa ini, tentunya menjadi dampak pemilihan presiden langsung di negeri ini yang paling memiriskan karena hari ini pun kita masih merasakannya.  Jika tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik, bukan suatu hal yang mustahil jika negeri ini terkoyak koyak akibat pilpres. 

Belum lagi jika dilihat dari pembiayaan yang begitu besar. Dana pilpres yang kelihatan saja segitu, bagaimana dengan yang tidak kelihatan? Yang tidak kelihatan justru lebih besar, kata seorang teman yang sudah lama kecewa dengan model pemilihan langsung. 

Ada trauma terhadap posisi MPR pada masa Orde Baru. Karena lembaga negara yang dijadikan lembaga tertinggi negara itu, cuma diisi oleh orang orang yang direstui oleh Presiden Soeharto. Sehingga MPR tidak pernah bersikap kecuali menyetujui apa yang dimaui pemerintah. 

Bahkan waktu itu, selalu muncul nama calon presiden yang sama doi setiap pemilihan. Tak ada yang berbeda. Sekali berbeda memang langsung "mati".

Kenapa ingin mengembalikan sebuah lembaga yang unfaedah? 

Dari sisi konseptual, sebagai negara yang hendak memegang teguh musyawarah dan mufakat, maka MPR adalah lembaga yang paling tepat.  Tentu bukan wajah MPR yang saat ini terlihat di Senayan. 

MPR yang baru harus benar-benar diisi oleh orang-orang yang sudah berkhidmat hidupnya untuk negara. Bukan petualang politik yang cuma bermimpi tentang kelompoknya belaka. 

Setiap golongan terwakili. Suku Suku terpencil, kelompok kelompok minorotas memiliki wajah di MPR. Tetap jumlah nya kecil kan? Sekali lagi, di MPR bukan untuk pamer jumlah. Kemenangan bukan karena jumlah. Karena, keputusan di MPR selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat. 

Pengusaha masuk MPR. Ini yang juga harus dicegah. Kepentingan mereka sering menutupi kepentingan negara. Wah, masa? Mereka kan bayar pajak juga? Iya, sebaiknya mereka seperti itu saja dalam berkontribusi kepada negara. Tidak perlu ikut di MPR. 

Masih banyak harus dipikirkan untuk mewujudkan MPR baru. Oleh karena itu, mari pikirkan bersama. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun