Malam semakin larut. Dan di rumah itu, aku belum bisa memejamkan matanya. Walaupun sudah kupaksa sekuat tenaga.Â
"Belum tidur, Mah? " tanya suamiku.Â
"Entah. Mata mama kok sulit diperankan. "
"Mikirin Darto? "
Aku mengangguk. Darto itu camat Watudongkal. Darto itu tanganku sebagai seorang bupati. Tak mungkin aku melakukan banyak hal. Dartolah penolong ku.Â
"Sudah dikumpulkan semua sama Darto? "
Suamiku juga kenal Darto. Suamiku dulu juga bupati. Dua periode. Setelah dua periode dan tak bisa mencalonkan diri sebagai bupati, dia memilih menjadi anggota DPR.Â
Aku menggantikan.  Aku sudah satu periode  sekarang periode kedua. Berarti, aku juga sudah tak bisa mencalonkan diri lagi.Â
"Giliran Andira. "
Ya, Andira anak pertamaku yang sudah beberapa tahun ini saya persiapkan untuk menggantikan ku sebagai bupati. Kursi bupati tak boleh diambil siapa pun.Â
"Belum ada kabar dari Darto. Itu yang bikin mama tidak tenang. "
Dan di larut malam itu, pintu rumah diketuk seseorang. Apakah ini kabar gembira atau kabar yang selama ini selalu bikin hatiku tak tenang?Â
"Maaf, kami dari KPK. "
Dan dunia benar-benar berhenti berputar. Aku tak ingat apa apa lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H