Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kemarau, Cengkeh, dan Tomy Soeharto

2 September 2021   08:07 Diperbarui: 2 September 2021   08:13 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian ini jelas udah lama banget. Tapi terus terang saja masih tersimpan rapi di dalam memori. Entah sampai kapan akan terus terkenang. Mungkin sepanjang hidupku. 

Kemarau panjang. Aku masih SD. Di kampung yang cuma mengandalkan air yang jatuh dari langit. Kering kerontang di mana-mana. 

Di kali desa sendiri cuma cukup untuk minum warga. Jadi, tahu sendiri lah, bagaimana berangkat ke sekolah setiap paginya. Kebutuhan untuk minum jelas mengalahkan segala nya. 

Tapi, bagi bapak dan orang-orang di kampung ku, ada tanaman yang lebih dari segalanya. Tanaman itu adalah cengkeh. Hampir semua orang kampungku memiliki pohon cengkeh. 

Rata-rata pohon cengkeh baru ditanam. Membutuhkan air untuk bisa hidup. Pohon cengkeh ini agak manja. Sehari saja tidak disiram pasti akan terlihat mulai layu. 

Cengkeh adalah primadona. Harganya tak ada bandingnya. Hanya saja, bapakku terlambat nanem. Ketika orang orang sudah mulai panen, bapakku masih harus berjuang memelihara pohon kecil. 

Aku pun ikut dikerahkan. Sendiri tak mandi tapi mencari air untuk cengkeh. Tidak dekat. Mencari ke kali yang lebih jauh. Dan airnya juga air butek. Yang penting bisa untuk siram dan bikin seger cengkeh. 

Banyak pohon mati atau sekadar meranggas kecuali cengkeh. Pohon pohon cengkeh di kampungku tidak terkena kemarau sama sekali. Ketika hujan datang, pohon cengkeh itu semakin terlihat segar. 

Bersama datangnya hujan, senyum penduduk di kampung ku juga merekah. Cengkeh yang harganya selangit bisa diselamatkan dengan berbagai cara. 

Beberapa tahun kemudian cengkeh bapakku mulai berbunga. Senang juga wajah bapak melihat bunga cengkeh yang sudah diharapkan bertahun-tahun lamanya. 

Tapi apa dikata. Waktu itu belum ada televisi di kampung ku. Radio juga cuma satu dua. Dan radio disetel cuma buat dengerin wayang. 

Kabar bahwa cengkeh tidak boleh lagi dijual bebas. Cengkeh hanya boleh dijual ke pembeli tertentu yang katanya sudah bekerja sama dengan Bppc. Kepanjangan nya lupa. Sebuah Lembaga yang dibikin soeharto dan diketuai oleh anaknya sendiri Tomy Soeharto. 

Gegerlah kampung ku. Karena dengan adanya Lembaga yang dipimpin Tomy itu, harga cengkeh langsung ambruk. Jangankan untung, untuk menutupi biaya metiknya saja tidak cukup. 

Apa yang akhirnya terjadi di kampungku? 

Semua orang marah. Akhirnya, pohon pohon cengkeh yang tadinya dimanja dan mengalahkan apa saja. Bahkan di musim kemarau panjang pun dicarikan air agar tetap hidup. Dipotong semua. Dibabat habis. 

Itulah kemarau yang masih ada di benakku. Pengalaman pahit bersama Tomy Soeharto. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun