Birokrat itu berpikir nya mbulet. Dan pada akhirnya cuma untuk keuntungan diri sendiri. Sehingga sindiran "Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah? memang pas banget untuk menggambarkan mentalitas birokrat. Terutama birokrat di negeri ini.Â
Sebelum reformasi, birokrat itu tumbuh dari bawah. Hidup dari bawah hingga mati tetap birokrat. Tidak ada orang yang mendadak birokrat. Tak ada birokrat dadakan.Â
Birokrat itu pelayan masyarakat. Itu sih ada di pidato para pejabat. Di dunia nyata mah penghisap masyarakat. Birokrat itu candu.Â
Ketika Reformasi muncul konflik. Â Berentet datangnya. Karena memang ada penciptanya. Siapa lagi kalau bukan antek antek Orba yang gagal moveon?Â
Konflik horizontal yang baru muncul saat Reformasi ini tentu bikin pusing birokrat yang berpikir nya mbulet. Â Mereka cuma bisa melongo belaka. Karena terlalu terbiasa dengan prosedur yang tanpa pangkal, apalagi ujung.Â
Sebagai seorang pedagang yang kemudian masuk birokrat, pemikiran Jusuf Kalla berbeda. Berpikir lebih praktis. Seperti mentalitas pedagang. Semakin praktis semakin menguntungkan. Mau kucing hitam mau kucing putih, yang penting bisa nangkep tikus. Mungkin se praktis itu juga. Tapi bukan Deng ya.Â
Persoalan konflik pun diurai dengan baik. Penyelesaian konflik cukup praktis. Semua diuntungkan. (Mirip dagang kan?) Tapi memang nyatanya jadi selesai.Â
Melihat gerak SBY yang lamban juga suka bingung. Maka kepraktisan JK membuat persoalan lebih mudah terselesaikan. Misalnya saja tentang minyak tanah dengan gas.Â
Konflik di Indonesia bisa diselesaikan secara praktis oleh JK. Kini JK juga melanglang buana. Melihat Taliban secara praktis.Â
Jika birokrat mbulet, maka JK memang praktis. Warna JK cukup terlihat ketika beliau mendampingi SBY. Hanya saja kurang greget ketika bersama Jokowi.Â
Dan ketika DKI Jakarta dipusingkan Ahok, JK memunculkan Anies. Pertimbangan nya juga praktis. Dan nyatanya bisa menang.Â
Mungkin perlu memperbanyak birokrat yang berpikir praktis seperti Jusuf Kalla. Â Sehingga tidak perlu ada mural segala. Kritik malah diundang ke istana. Ajak berdebat saja. Kalau memang pengkritik punya argumentasi benar, Terima. Kalau cuma bualan, kita sikat saja.Â
Gitu aja kok repot. Eh, ini mah punya Gus Dur ya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H