Menghina itu gampang. Karena semua orang pasti memiliki kelemahan. Â Akankah, kita berfokus pada kelemahan orang lain, sehingga lupa dengan kelemahan diri sendiri?Â
Usahakan untuk tidak menghina orang. Siapa pun mereka. Jika mereka seorang gembel yang secara lahiriah sering dianggap sebagai kehidupan yang hina.Â
Apalagi menghina pemimpin kita sendiri. Seorang ketua RT adalah seorang pemain pemimpin. Seorang kepala desa, seorang camat, seorang bupati, seorang gubernur, apalagi seorang presiden.Â
Mereka tentu tidak bisa memenuhi harapan semua orang. Mereka juga tentunya sudah bekerja sesuai dengan apa yang mereka bisa.Â
Toh, sudah ada mekanisme yang disediakan dalam sebuah negara demokratis. Â Paling tidak, setiap 5 tahun sekali akan ada penilaian dari rakyat yang dipimpinnya.Â
Menghina sering diidentikkan dengan kritik. Padahal, kritik dan penghinaan sudah tampak jelas perbedaannya. Karena kritik dialamatkan pada kebijakan sedangkan penghinaan tertuju pada sosok.Â
Penggunaan foto atau gambar Presiden Jokowi yang ditambahi dengan hal negatif tentangnya tentulah sebuah penghinaan. Misalnya dengan tulisan sebagai raja kebohongan.Â
Demikian juga, ketika hal yang sama dialamatkan kepada Anies Baswedan. Kenapa dua sosok itu sebagai contoh? Â Karena kedua sosok itulah yang saat ini didukung oleh kelompok berbeda. Penghinaan terhadap Anies biasanya diindikasikan kelompok Pro Jokowi. Sedangkan penghinaan terhadap Jokowi diidentifikasi sebagai kelompok Pro Anies.Â
Kepentingan politik buta hanya mampu melihat kebaikan pemimpin pujaannya. Demikian juga sebaliknya, hanya mampu melihat sisi negatif sosok di luar kelompoknya.Â
Sudahilah penghinaan terhadap sosok,. Mari kita fokus pada kebijakan pemimpin sebagai titik pijak sebuah kritik. Kebijakan Anies bisa merugikan kelompok tertentu. Kritik lah. Kebijakan Jokowi juga pasti tidak sempurna. Kritiklah.Â