Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suara Toa Masjid

4 Juli 2021   07:48 Diperbarui: 4 Juli 2021   07:49 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebetulnya toa itu merek spiker. Akan tetapi, hampir semua orang akan menyebut pengeras suara atau pelantang suara itu sebagai toa. Sebuah gaya bahasa yang sering berkembang dalam kehidupan masyarakat. 

Di kampung ku, waktu aku kecil dulu, Toa di pasang setiap ada keluarga yang akan mengadakan hajatan. Berkat toa satu kampung menjadi ingat jika di tempatnya si anu sedang mantu atau sunatan. Berarti, jangan lupa kondangan. 

Karena kondangan, maka pulangnya ibu ibu akan pulang membawa berkat. Makanan yang berbeda dengan makanan yang dimakan harian di rumah. 

Anak-anak selalu akan tertawa lebar setiap kali melihat ibu mereka pulang dari kondangan. Berarti ada makanan yang berbeda. Walaupun tidak beda jauh, karena pesta di kampung cuma berkatnya ada ikan asin dan kalau kebetulan ada daging kambing jika si pemghajat orang kaya. 

Berkat itulah yang membuat kami, anak anak kampung selalu bergembira setiap ada toa dipasang dan terdengar hingga rumah kami. Semakin banyak toa terdengar, semakin berbunga bunga hati anak desa. 

Ketika kami mulai besar, ada beberapa anak kampung kami yang belajar di pesantren atau mondok. Anak-anak pondokan ini yang kemudian mulai memasang toa ketika masuk bulan puasa. 

Malam yang biasanya sepi, menjadi ramai ketika Ramadan ada suara tadarusan dari masjid. Ramadan berbeda dari hari hari biasa. Kami juga senang mendengar suara tadarus dari masjid kami. 

Anak-anak pondokan itu, mengaji mulai dari sehabis tarawih hingga sahur tiba. Jadi, selain untuk tadarus juga dipergunakan untuk membangunkan emak emak di kampung agar tidak lupa untuk menyiapkan sahur. 

Belum ada jam weker, apalagi alarm HP seperti ibu ibu saat ini. Sehingga, suara orang membangunkan dari toa masjid betul-betul menyelamatkan warga kampung dari kemungkinan tak sahur. 

Tapi sayang, jika hari ini, di kota besar pula seperti Jakarta, masih ada orang bodoh yang berteriak-teriak membangunkan warga untuk sahur.  Suara itu lebih banyak mudhorotnya. Mengganggu masyarakat sekitar. Upaya mereka membangunkan warga ketika semua warga sudah punya HP semua dengan alarm kerasnya. 

Seharusnya, toa masjid hanya untuk azan saja. Sebuah penanda bahwa waktu melaksanakan solat sudah tiba. 

Pengingat waktu solat melalui azan yang dikumandangkan dengan suara merdu tentu dibutuhkan oleh orang orang kota yang cenderung sibuk dan sering lupa dengan waktu karena saking sibuknya. 

Iqomat pun tak perlu memakai toa. Karena iqomat cuma ditujukan untuk jama'ah yang sudah bersiap di dalam masjid. 

Hari hari ini, toa masjid tiba-tiba menggetarkan hati.  Biasanya, selain untuk keperluan azan, toa masjid juga dipergunakan untuk menyampaikan pengumuman. 

Dan pengumuman yang diperdengarkan melalui suara keras toa masjid adalah pemberitahuan kematian salah satu warga. Jika ada suara dari masjid padahal belum masuk waktu solat, maka kami berkesimpulan bahwa ada kematian di sekitar kami tinggal. 

Biasanya, terdengar suara toa masjid di luar waktu solat paling cuma seminggu sekali. Itu sudah terhitung paling cepat. Karena biasanya memang hanya sebulan atau dua bulan atau tiga bulan baru terdengar toa masjid di luar waktu solat. 

Pagi ini, sudah sekali suara toa masjid terdengar di luar waktu solat. Pagi pagi sudah ada berita kematian salah satu warga. 

Setiap terdengar pengumuman ada kematian, selalu segera bersiap untuk pergi takziah. Pagi tadi, tidak seperti biasanya. Mendengar suara toa masjid berarti ada korban covid lagi. Dan tak ada takziah untuk kematian akibat covid. 

Kemarin, hari Sabtu, 3 Juli 2021, bersamaan dengan dimulai nya PPKM Darurat, sebanyak tiga kali toa masjid dinyalakan. Ya, kemarin ada tiga kematian covid di sekitar tempat tinggalku. 

Suara toa pada hari hari terakhir ini betul-betul menggiris hati siapa pun yang mendengarnya. Karena pengumuman kematian itu begitu berulang dengan perulangan yang tidak melebihi hari. 

Kita benar benar dikurung oleh covid. Berarti selama ini kita terlalu abai. Kita terlalu sombong dan menganggap kejadian di India tak mungkin terjadi di Indonesia. 

Seharusnya, kini semua semakin sadar bahwa corona bukan konspirasi siapa pun. Corona benar-benar sedang menguji bagaimana cara beragama yang paling baik. Beragama harus mengandalkan kemampuan berpikir juga. Tak ada teks yang bisa bicara jika kita tidak mengajaknya bicara. 

Konsistensi sikap perlu menjadi pandu dalam menghadapi covid. Tidak bisa selain itu. 

Semoga toa masjid kembali terdengar menyejukkan seperti ketika aku anak anak dulu. Amin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun