Dua malam berturut-turut aku mimpi bertemu badut itu. Badut yang sama. Bukan lucu tapi menyeramkan.Â
"Kenapa tidak lari? "
"Kakiku seperti terpaku. Sama sekali membandel terhadap perintah otak. Bahkan ketika otak sudah sampai memohon mohon. "
"Terus? "
"Tapi kemudian aku sadar, inj pasti mimpi, kataku dalam hati. Aku pejamkan mata. Kini aku berupaya untuk bangun dari mimpi. "
"Berhasil? "
"Iya. Aku terbangun dengan hati yang masih deg degan. "
Semalam datang lagi dia. Wajahnya lebih seram. Dan dia sepertinya lebih gesit.Â
"Ketangkep? "
"Iya."
"Diapain? "
"Dipukulin."
"Kamu tidak berupaya menjelaskan atau bertanya? "
"Tidak kepikiran sampai ke situ. Yang aku pikirin cuma bagaimana bisa bangun. "
"Bisa? "
"Sepertinya dia sudah tahu. Mungkin belajar dari semalam, ketika aku bisa lolos dengan keluar mimpi. "
"Apa yang ia lakukan? "
"Sepertinya dia ngeblok jalan yang kulalui semalam. "
Malam ini aku tak ingin tidur. Bayangan badut semalam masih terasa begitu dekat. Siksaan nya masih begitu mengerikan.Â
Tapi, itu kan cuma mimpi ya?Â
Khayalku melayang membayangkan orang orang yang mengalami siksaan ketika tidak sedang tidur. Mereka sepanjang sisa hidupnya menjalani siksaan itu. Alangkah pedihnya.Â
Apalagi jika mereka cuma korban politik. Tak tahu apa apa, tapi harus menanggung segala kekejaman itu.Â
Semoga negeriku tetap aman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H