Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tanpa Koma

13 Juni 2021   21:11 Diperbarui: 13 Juni 2021   21:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya, aku yang kausebut itu. Kenapa? Apa aku harus menanggapi persoalan sepele ini? 

Langit masih berwarna biru sehabis hujan yang begitu deras mengguyur kota kecil ini. Ada beberapa burung yang berupaya mencari sesuatu di antara tumpukan jerami yang belum selesai dibakar oleh para petani. 

Aku akan terus melakukan apa yang aku anggap sebagai kebenaran. Persetan dengan pendapat orang lain. Bukan. Bukan aku tak mau mendengar pendapat orang lain. Waktu yang mengharuskan padaku untuk berkata cukup sekian saja. 

Beberapa petani pulang dengan beraneka bawaan. Mungkin bergantung dengan yang ditanam di kebun masing masing. Ada yang membawa kacang panjang yang menjuntai dari bakul keranjang nya. Ada yang membawa petai. Ada juga yang membawa pisang tanduk. 

Jangan tantang aku. Bagiku tantanganmu itu bahan bakar yang siap membarakan samangat. Tak ada lagi jalan lain yang harus kutempuh. Hanya ini yang bisa kulakukan saat ini:Lawan! 

Kadang pikiran mengembara kemana-mana. Mengembara pada perempuan perempuan yang pernah ditulis oleh sejarah dengan tinta emas. Tentu bukan wanita biasa seperti yang setiap kali kamu jumpai. 

Angin sore seakan mengabarkan kegembiraan yang terlambat datang. Sehingga tampak berjalan dengan jalan penuh rasa malu. Daun rambutan yang sudah mulai menguning melayang jatuh seperti tarian burung parkit. 

Harus selesai. Tak boleh lagi mundur atau apa pun namanya kalau hanya untuk mengulangi kekalahan demi kekalahan. Kesabaran bukan karpet merah bagi penderitaan yang tanpa ujung. 

Tidak. Aku tidak akan berani menyesali apa yang sudah diputuskan. Aku akan tetap berjalan dengan kepala tegak. Aku perempuan tanpa koma. Ya, tanpa koma. 

Bukan maksudku agar kamu memahami kalau memahami hanya berarti mengulur apa yang sudah dipatok sebagai kebaikan terakhir. 

Langit sore itu benar-benar cerah. Entah kenapa. Mungkinkah karena hatiku yang sudah mantap? 

Mungkin! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun