politik di negeri ini?Â
Siapa sih yang tidak muak dengan kelakuan partai partaiBukannya menjadi lokomotif demokrasi, partai partai politik justru terjerembab pada penghambatan demokrasi itu sendiri. Â Mana ada kedaulatan anggota dalam proses politik di dalam partai. Untuk menentukan calon bupati saja, harus seorang ketua umum yang sudah pasti tinggal di Jakarta. Tak jarang harus berseteru dengan orang daerah yang sudah berjasa pada partai di daerah itu dan sangat dicintai warga daerah itu, akan tetapi karena tidak punya jaringan kuat di Jakarta maka harus rela dikorbankan.Â
Rakyat negeri ini sudah belajar banyak daru sejarah. Dan semoga tidak terjerumus pada lubang yang sama. Karena keledai pun tak pernah mengalami seperti itu.Â
Jokowi tak memiliki trah biru. Tak mungkin jadi presiden jika tidak ada desakan kuat dari rakyat. Tak ada yang mau memberi jalan untuknya.Â
Demikian juga dengan nasib Ganjar Pranowo. Tidak memiliki trah biru. Mirip dengan apa yang dialami Jokowi.Â
Hanya saja, partai politik tempat bernaungnya sedikit memiliki perbedaan. Ketika zaman Jokowi, PDIP benar benar tak punya sosok untuk dimajukan dalam persaingan pilpres, kecuali Jokowi. Jika masih memaksa mencalonkan Mega untuk ketiga kalinya sudah pasti akan kalah.Â
Sementara, generasi di bawahnya, yaitu Puan Maharani, belum memiliki kapasitas untuk maju. Jika dipaksakan juga akan kalah telak.Â
Sehingga Jokowi menjadi jalan satu satunya. Sehingga aroma keterpaksaan itu begitu kentara. Bahkan hingga Jokowi sudah menjadi seorang presiden.Â
Sekarang, ketika Ganjar Pranowo muncul dalam persaingan pilpres, ada Puan Maharani yang dirasa sudah siap untuk ikut maju. Sehingga, mau tak mau Ganjar harus dikorbankan.Â
Persoalan ini mencuat kembali. Akan ada persaingan antara rakyat dengan partai politik. Rakyat akan menolak apa yang disajikan di meja makan oleh partai politik. Karena rakyat menginginkan menu lain.Â